Rabu, 27 Maret 2013

PERPUSTAKAAN

Nilai-nilai Injil bersifat merdeka, lepas bebas dan melampaui setiap dan semua kebudayaan mana pun. Sejauh kebudayaan didefinisikan sebagai seperangkat nilai, maka inkulturasi tidak lagi menjadi obat mujarab untuk menyembuhkan perlawanan ataupun berkurangnya minat orang akan kristianisme. Sebab  sejak itu kita mempunyai dua perangkat nilai yang berbeda: nilai-nilai Injil dan nilai-nilai kebudayaan. Pertentangan antara keduanya tidak terelakkan dan setiap orang yang berkehendak menjadi seorang kristen harus memilih satu diantara mereka.
Georg Kirchberger dan John Mansford prior, IMAN DAN TRANSPORMASI BUDAYA ( Ende, Flores Nusa Indah, 1996), 200.

Ketika putrinya itu dibabtis, pendeta Lamsana menngenakan busana destar ulos Mangiring, yang biasanya dililitkan seperti topi di atas kepala kaum pria Batak, model yang sama hampir pada semua suku bangsa di Nusantara. Sebagai padanan destarnya, dia mengenakan kain ulos sibolang, yakni sejenis ulos yang dililitkan seperti sarong; dan menselempangkan ulos sitolu-tuho, juga sejenis ulos yang bercorak cantik.
Tentu saja sikap berbusana seperti itu amat menarik perhatian karena dilakukan oleh seorang pendeta Batak muda-usia. Karena umumnya kala itu mereka malah sudah mengimitasi pemakaian pantalon dan jas terbuka model beska Jawa dalam acara-acara khusus. Tak urung para pendeta dan guru-guru zending lain katanya serta-merta meniru gaya berbusana pendeta Lamsana itu. Terutama bila mereka saling memenuhi atau mengahadiri undangan rekan sesamanya dala syukuran babtisan atau naik-sidi anak-anak mereka. PTD Sihombing, ARGA DO BONA NI PINASA, (Jakarta Selatan: Albert-Orem Ministry, 2004), 37, 38.

Keterjalinan Injil dengan kebudayaan di dalam konteks kita adalah sangat penting sehingga kita tidak punya pilihan lain selain mempelajari masalah ini sedalam-dalamnya. Di dalam proses ini kita akan dikejutkan oleh kenyataan betapa keterjalinan Injil dan kebudayaan bersama-sama telah membentuk pikiran dan tindakan kita. Begitulah, teologi mempunyai tugas untuk menjelajahi jaringan kerja Injil dan budaya.
Chris Hartono dkk, KONTEKS BERTEOLOGI DI INDONESIA, (Jakarta: unung Mulia, 1997), 226. Pemakaian kata kketerjalinan, dan Kerjasama memang disengaja. Kata-kata ini ingin menunjuk kepada kerumitan yang kita hadapi apabila kita berusaha menggambarkan wilayah teologis dari Injil dan kebudayaan.

“Kebudayaan adalah pola hidup (bersama). Allah menghendaki agar manusia hidup berbudaya memuliakan Allah dalam persekutuan dengan Allah dan sesama manusia bahkan dengan seluruh ciptaan. Kobong, IMAN DAN KEBUDAYAAN, (Jakarta: Gunung Mulia, 2004), 7. Kebudayaan yang benar adalah kebudayaan yang sesuai dengan hidup yang dikehendaki Allah. Hal 6.
Orientasi kebudayaan adalah untuk memuliakan Allah. Kenyataan ialah bahwa praktis semua kebudayaan cenderung memuliakan dirinya sendiri. Hal 7.
Manusia adalah pemegang peran utama dalam pementasan kemuliaan Allah itu, karena ia tidak hanya diberi kuasa mengolah, menguasai, memerintah, memelihara pentas itu, melainkan ia juga  harus memberi isi kepada pementasan kemuliaan Allah dalam hubungan dengan tanggung jawab ganda, hubungan dengan Allah (vertikal) dan hubungan dengnan ciptaan lainny, manusia dan lingkunganny, alamnya (horizontal). hal5
Jadi titik temu dengan sesama manusia adalah kesadaran bahwa semua manusia adalah orang berdosa dan ia mau meneruskan berita Injil, berita pengampunan, berita keselamatan kepada orang berdosa lainnya agar mereka turut diselamatkan. Hal 10-11
Transformasi kebudayaan merupakan akibat atau hasil dari kontekstualisasi.Di mana Injil memasuki suatu konteks (kebudayaan) tertentu, di sana terjadi pergumulan rangkap yang membawa pada perubahan-perubahan, dalam hal ini, transformasi kebudayaan. Hal 38.
Dengan demikian hubungan-hubungan lain tidak disangkali tetapi menjadi sekunder, bahkan menjadi tidak relevan. Semuanya akan berlalu ( 1Kor 5:17), artinya siapa percaya, siapa merelasikan hidupnya kepada Kristus, sudah berada (hidup) dalam keadaan baru dengan dimensi-dimensi baru. Hal45.

TRANSFORMASI KEBUDAYAAN: 1 KOR 11:2-16.; SURAT KEPADA FILEMON.




Persekutuan dengan Tuhan yang benar, merupakan satu-satunya jalan bagi manusia untuk mengenal Dia, di dalam kekayaan kasih, kuasa, hikmat, dan kemuliaan-Nya. Pengenalan akan Tuhan merupakan sumber kekayaan dan kekuatan yang sangat besar bagi manusia di dalam menjalani hari-harinya di muka bumi ini. Pengenalan ini dinyatakan di dalam Kristus.”  Henry James Silalahi,Pandangan Injil Terhadap Upacara Adat Batak (Medan: Pelayanan Misi Kristus Yayasan Karya Misi Kasih, 2005), 23.
Demikian juga dengan kebudayaan Batak. Jikalau kita meninjau upacara adapt, maka kita akan menyaksikan bagaimana leluhur kita melakukan berbagai rangkaian upacara yang dibangun dari hidup yang menyembah kepada sesuatu yang lahir di luar Yesus Kristus. Hal 33.
 Di samping itu, ada pula pemikiran di kalangan tertentu orang Batak Kristen, yang menyetakan, bahwa identitas baru sebagai seorang Batak Kristen, tetap harus didasarkan pada nilai-nilai dan cara-cara hidup yang dimiliki leluhur. “ Kebatakan” seseorang diukur dengan sejauh mana dia memiliki nilai, pikiran, dan cara hidup seperti yang diajarkan oleh leluhur. Kalau dia hidup dengan memegang seluruh aturan adapt yang diwariskan oleh leluhur, maka dialah orang yang benar-benar dianggap sebagai orang Batak. Hal 36.
Pendekatan ini memandang bahwa upacara adapt tidak hanya sebagai aktivitas social yang berdiri sendiri, tetapi terkait dengan segala nilai, ide, gagasan, paradigma, norma, kuasa, kuasa roh yang ada di belakangnya, dan benda-benda pendukung upacara. Hal 37.
Karena adapt merupakan penjelmaan hakiki dari “Debata”, maka tatanan ilahi ini memiliki nilai hukum. Pelanggaran atas adapt merupakan pelanggaran hokum yang mendatangkan sanksi bagi si pelanggar. Pelanggaran adapt merupakan sesuatu yang sangat serius, karena pelanggaran itu dapat merusak keseimbangan di alam semesta. Pelanggaran ini merupakan tindakan yang merusak tatanan ilahi yang akan berakibat buruk bagi kehidupan manusia. Sehingga setiap pelanggaran akan beroleh sanksi dari masyarakat. Hal 45.

Sebagai masyarakat yang mata pencaharian utamanya adalah sebagai petani, maka mereka memahami adanya keseimbangan antara alam makrsokosmos dengan alam mikroskosmos. Antara dunia manusia dengan kepentingan hidup manusia itu sendiri. Keseimbangan dijaga dengan memelihara berbagai aturan hidup yang diilhamkan oleh sembahannya, yang hari ini disebut dengan “Adat Batak”. Orang Batak mengenal adanya dewa tertinggi, yang menciptakan dan menguasai kehidupan diseluruh alam semesta. Dewa itu biasa disebut dengan “Debata”. Pedersen menuliskan bahwa dalam kosmologi Batak Debata atau dewa tertinggi, menata alam dalam suatu tatanan Ilahi. Manifestasi tertinggi dari Debata adalah “Adat”. Adat merupakan tatanan ilahi yang berfungsi untuk membimbing orang-orang dan masyarakat untuk menjaga refleksi dari tatatertib makrokosmos. Hal 44.
Di atas telah diuraikan bahwa “Adat Batak” merupakan penjelmaan hakiki dari roh atau dewa tertinggi sembahan leluhur. Dalam kepercayaan leluhur dikenal adanya nama dewa yang diyakini sebagai dewa tertinggi yang dipanggil dengan nama” Oppu Mulajadi Nabolon” atau “Debata Mulajadi Nabolon”. Dalam kehidupan sehari-hari disebut “Debata” (Toba), Naibata, (Simalungun), Dibata (Karo dan Pakpak), merupakan panggilan singkat yang ditujukan kepadany. Debata merupakan penguasa alam semesta, yaitu dunia atas, dunia tengah dan dunia bawah ( banuaginjang, banua tonga dan banua toru). Hal 49.
Mengapa upacara adapt itu sulit ditinggalkan oleh orang Batak?
Salah satu jawabnya adalah karena didalam upacara adapt itu terdapat inti dari agama Batak, yaitu penyembahan kepada Debata Mulajadi Nabolon. Penyembahan itu merupakan inti dari persekutuan masyarakat Batak. Dengan upacara adapt, maka ro-roh sembahan leluhur membentuk suatu masyarakat yang secara bersama-sama menyembah kepada Mulajadi Nabolon. Penyembahan ini merupakan tujuan utama dari sembahan leluhur untuk mendapatkan penyembahan dari orang Batak. Hal 100.

Rekomendasi ini meneguhkan bahwa upacara adapt merupakan upacara yang berasal dari penguasa angkasa, yaitu penguasa kegelapan territorial Batak. Hal 55.
Alkitab memberitahukan kepada kita bahwa TUHAN yang disaksikan di dalamnya memiliki nama, sapaan tersendiri, yang berbeda dengan roh-roh semnbahan lain yang ada di dalam dunia. Alkitab juga memberitahukan bagaimana cara kita memanggil namaNya, dan membangun persekutuan hidup di dalam-Nya. Sekalipun Alkitab berbahasa Batak telah memakai istilah “ Debata”, namun dalam kehidupan sehari-hari kita perlu memulai suatu kebiasaan baru untuk memenggil TUHAN, didalam Yesus Kristus, dengan sapaan-sapaan yang telah diajarkanNya. Setiap sapaan berisikan kebenaran tentang relasi kita dengan Dia did alam Yesus Kristus. Mari kita belajar memanggil Dia dengan nama panggilan yang disukaiNya, bukan berdasarkan apa yang kita sukai. Hal 64.

Jadi, upacara adapt merupakan bentuk ibadah religius yang berisikan acara penyembahan kepada Debata Mulajadi Nabolon.hal 102.

Penyembahan juga dilakukan didalam acara tortor dan gondang. Dalam tarian (tortor) Batak, penyembahan kepada Mulajadi Nabolon juga dilakukan oleh peserta dengan cara merapatkan kedua tangan di dada dan kemudian membuat gerakan penyembahan kepada “Debata”. Pada langkah selanjutnya, maka barisan dari pihak boru dengan tangan menyembah berjalan menyembah pihak hulahula yang berdiri untuk menerima penyembahan. Hal.101

Pemberian ulos dulakukan dengan cara membentangkannya di pundak sedemikian rupa sehingga membungkus tubuh boru. Pemberian ulos merupakan symbol pemberian berkat dan perlindungan yang diberukan sahala hulahula kepada roh (tondi) sang boru, agar tondi itu tetap berada dalam keadaan nyaman, hangat, dan kuat. Hal 120.

Perkampungan (huta) Batak juga merupakan wilayah pemukiman daripada seluruh arwah dari anggota keluarga dan  leluhur yang telah mati. Perkampungan orang yang hidup dapat dilihat, tetapi perkampungan para roh atau arwah orang mati hanya dapat dilihat secara gaib oleh mata rohani (parmata begu). Hal 145.
Tulang belulang itu digali dari kuburannya didalam tanah melalui upacara yang dinamakan “mangokkal holo” (menggali tulang-belulang). Pada masa dulu, bagi raja raja yang hidupnya sangat terhormat (nasangap), upacara untuk memasukkan tulang-belulangnya kedalam makam batu dinamakan “horja turun”. Hal 152
Raja-raja dulu pada waktu mati tidak dikuburkan kedalam tanah. Mayatnya dimasukkan kedalam suatu peti yang terbukan dan dibiarkan membusuk dalam beberapa waktu hingga tinggal tulang-belulangnya saja. Setelah itu baru dipindahkan ke makam yang permanent. Hal 152.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar