Minggu, 28 April 2013

KRISTUS TERHADAP KEBUDAYAAN



BAB II

KRISTUS TERHADAP KEBUDAYAAN


Budaya dan manusia adalah dua hal yang seolah tak terpisahkan, sebab  pada dasarnya manusia terkait erat dengan  komunitas di mana ia hidup. Maka  tiap-tiap individu memiliki karakteristik atau perilaku tertentu. Maka muncullah manusia-manusia yang erat menyatu dengan budaya di mana ia tinggal, bahkan sudah mendarah daging, tercermin dalam pola pikir, perilaku, adat kebiasaan. Budaya adalah konteks nyata tempat Injil berjumpa dengan manusia yang tinggal di dalamnya. Ia mewakili cara hidup untuk suatu masa dan tempat tertentu, dipenuhi dengan nilai, lambang dan makna, menjangkau harapan-harapan yang ada. Tanpa kepekaan terhadap konteks budaya, maka gereja dan teologi tidak akan berakar. Perkembangan gereja dan teologia di suatu tempat dipengaruhi oleh kebudayaan yang ada dalam tempat tersebut.
Injil sebagai kabar baik tentang keselamatan di dalam Yesus Kristus tidak lepas dari kaitan budaya Yahudi di mana Yesus lahir dan hidup.Oleh karena itu ada banyak tradisi Israel yang muncul dalam kesaksian Injil, seperti peringatan hari Purim di kitab Ester, hari raya Pondok Daun,  tahun Yobel, aturan Sabat dan lain sebagainya. Belum lagi budaya patriakhal yang dianut oleh bangsa Yahudi menyebabkan peristiwa Yesus dicatat dari kacamata maskulin, seperti peristiwa Yesus memberi makan 5000 laki-laki. Dalam Alkitab, terdapat banyak hal yang menceritakan tentang ajaran Tuhan Yesus yang memakai adat istiadat Yahudi untuk menjelaskan tentang kerajaan Allah. Dalam berbagai cara, tokoh-tokoh teologia selalu berusaha untuk membahas tenteng hubungan antara Kristus dengan kebudayaan. Ketika Yesus berinkarnasi sebagai manusia, Ia hidup dalam lingkungan manusia tempat Yesus lahir dan dibesarkan oleh ibuNya dan BapaNya. Sebagai seorang ayah, tentu Yusuf mengajar Yesus tentang hukum-hukum dan adat yang terdapat dalam masyarakat Yahudi seba Yusuf adalah seorang Yahudi dan Maria juga seorang keturunan bangsa Yahudi. Hal ini disebabkan karena sudah menjadi keharusan bagi seorang ayah untuk mengajarkan hukum-hukum dan adat istiadat Yahudi kepada anak-anaknya. Dalam kitab Ulangan dikatakan bahwa: Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu. Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun. Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu, dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu (Ulangan6:6-9).
Kebudayaan merupakan suatu praktek hidup yang telah menetap dilakukan oleh kelompok masyarakat dalam suatu daerah tertentu. Negara Indonesia, sebagai negara yang memiliki banyak suku, memiliki budaya yang banyak. Oleh karena itu, kekristenan yang sudah masuk ke Indonesia sejak lama, tidak lepas dari kebudayaan. Lama sebelum agama kristen datang ke Indonesia, telah banyak kebudayaan yang terbentuk dalam masyarakat Indonesia. Bukan hanya di Indonesia, di seluruh dunia, kebudayaan merupakan sesuatu yang tidak bisa lepas dari hidup manusia. Akan tetapi, kebudayaan yang berbeda tersebut membuat suatu kelompok masyarakat tertentu mengalami problem terhadap masuknya kekristenan dan hal ini sudah berlangsung sangat lama. Oleh karena itu, Kristus dan kebudayaan merupakan hal yang tidak baru lagi untuk diperbincangkan. “Dalam situasi ini, cukup menolong bila kita mengingat bahwa masalah ke-Kristenan dan peradapan bukanlah hal yang baru;dan bahwa kebingungan orang kristen dalam bidang ini sudah berlangsung lama; dan bahwa masalah itu adalah masalah yang menetap sepanjang abad-abad Kristen.”9 Hal ini menjadi masalah yang muncul juga pada saat sekarang. Setiap orang yang lahir ke dunia ini tergabung dalam sebuah kebudayaan.      
Tidak ada manusia yang lepas dari suatu kebudayaan, walaupun budaya yang berbeda. Wilayah yang berbeda menyebabkan juga budaya yang berbeda. Seperti halnya budaya di Barat berbeda dengan budaya yang ada di Asia. Oleh sebab itu, cara pendekatan terhadap keduanya berbeda. Dengan demikian  perlu dipahami metode yang benar untuk mengatasi masalah tersebut dengan cara kontekstualisasi. Masalah budaya terhadap iman kristen (kekristenan) merupakan masalah yang tak putus-putusnya dibcarakan oleh banyak orang percaya. Hal ini disebabkan oleh manusia itu sendiri sudah memiliki kebudayaan sejak terciptanya suatu suku dalam daerah tertentu. Kebudayaan mempengaruhi terbentuknya pribadi sesrorang.  Sebelum seseorang mengenal Tuhan, pasti sudah memiliki pemahaman yang dibentuk berdasarkan budaya tempat tinggalnya. Kebudayaan  S Wesley Ariarajah mengungkapkan dalam bukunya bahwa: “Garis pemikiran ini melanjutkan satu dari untaian pikiran yang dapat juga disimak dari konferensi Yerusalem1928. Usaha itu mencoba memisahkan pribadi manusia  dengan “kebutuhannya” dari agama dan kebudayaan.”10
Usaha manusia untuk menemukan jalan keluar terhadap masalah kebudayaan sudah menempuh waktu yang sungguh lama. Sejak Injil berada di Asia, Injil tidak diterima dengan mudah. Hal ini disebabkan oleh negara-negara di Asia adalah negara-negara yang memiliki nilai budaya yang tinggi. Sebab itu, ketika Kristus dibawa ke benua Asia, maka Injil tesebut akan berhadapan dengan budaya dimana Injil tersebut dibawa. Oleh sebab itu sangat perlu untuk memahami dengan benar bagaimana hubungan antara Kristus dan Budaya. Ketika seseorang yang membawa Kristus ke suatu daerah tidak mengerti bagaimana kebudayaan yang berlaku dalam daeah tersebut, akan menimbulkan masalah yang tidak diinginkan. Jika hal ini terjadi pada saat pertama Kristus diperkenalkan dalam daerah tersebut, maka untuk kali berikutnya akan mengalami kesulitan yang besar untuk memperkenalkan Kristus kepada daerah yang diinginkan untuk Mengenal Kristus. Kebudayaan memiliki peranan penting dalam hal hubungan antara manusia. Budaya merupakan suatu alat yang mempersatukan suatu individu terhadap individu lain dalam suatu kelompok masyarakat. Jika dilihat dari sudut fungsi adat tersebut, adat adalah suatu alat komunikasi yang sangat mempersatukan banyak orang. Dalam bukunya Robert J. Schreiter mengatakan bahwa: “studi ini melihat budaya sebagai suatu jaringan komunikasi yang amat luas, dimana baik pesa-pesan verbal maupun non-verbal diedarkan disepanjang alur-alur yang rumit dan saling berkaitan, yang bersama-sama, menciptakan sistem makna.”11 kebudayaan sangat mempengaruhi kehidupan umat manusia sebab konteks kebudayaan tidak mencakup hanya satu hal saja. Budaya mencakup banyak hal dalam aspek hidup manusia, salah satu diantaranya adalah alat musik. Budaya memiliki cakupan yang sangat luas dan masing-masing cakupan memberi arti tersendiri bagi masyarakat.
Ini memungkinkan studi terhadap apa yang disebut sebagai unsur-unsur budaya tinggi (seni, puisi, musik, keyakinan keagamaan) dan unsur-unsur budaya rakyat (ada-istiadat, takhyul), serta  unsur-unsur dari sistem budaya (organisasi sosial, organisasi, ekonomi dan politik)dalam cara yang memungkinkan kita melihat merka sebagai unsur-unsur yang mengikat dan saling terkait.12

                   Dengan melakukan hal tersebut, pembawa Kristus akan lebih mudah untuk melakukan dan menilai budaya Tersebut dengan baik. Dari hal tesebut, dapat dilihat bahwa ketika Yesus berinkarnasi sebagai manusia, Yesus juga ikut dalam melakukan kebudayaan yang ada dalam lingkungan bangsa Yahudi. Gereja-gereja Asia, khususnya di Indonesia kaya dengan keragaman budaya lokal yang tak kalah menarik dan kreatif untuk mewarnai kehidupan umat percaya. Ibadah-ibadah kita perlu memberi tempat pada kekayaan budaya lokal dalam hal musik, tarian, dan lain-lain yang tentunya lebih bermakna bagi individu-individu yang terkait dengan budayanya masing-masing. Berbagai gereja di Indonesia cenderung beribadah dengan tata ibadah pola barat. Dengan demikian mengabaikan potensi adat yang sebenarnya bisa dipakai untuk memuji Allah. Hal inilah yang menyebabkan masalah dalam lingkungan orang yang sudah percaya. Saat ini dalam kalangan orang percaya, buan lagi bagaimana Injil itu masuk ke alam suatu daerah. Akan tetapi yang menjadi masalah sekarang ini adalah timbulnya masalah-masalah yang mempertentangkan Kristus dengan kebudayaan. Yang menjadi masalah dalam lingkungan gereja saat ini bukan hanya orang kafir yang menolak Kristus, namun yang menjadi masalah adalah orang percaya yang telah menerima Kristus juga menemui kesulitan untuk mengkombinasikan tuntutanNya kepada mereka dengan tuntutan masyarakat.
Pergumulan dan ketentraman, kemenangan dan perdamaian, tidak hanya terlihat secara terbuka di mana pihak-pihak yang menyebut diri sebagai orang Kristen dan orang-orang anti-Kristen bertemu; lebih sering perdebatan tentang Kristus dan kebudayaan berlangsung di antara orang Kristen, dan di dalam hati nurani individu yang tersembunyi dalam, bukannya sebagai pertarungan dan penyesuaian diri dari percaya dengan yang tidak percaya tetapi sebagai suatu pergumulan dan perdamaian iman dengan iman.13

Pergumulan dan ketenteraman di dalam menjalani hidup bukan hanya ada dalam kalangan orang yang belum percaya kepada Kristus saja, tetapi juga dikalangan orang yang sudah percaya. Masalah yang selalu datang sampai hingga saat ini adalah pemahaman terhadap hubungan antara Kristus dan budaya. Hal ini disebabkan oleh hubungan Kristus dan budaya mempengaruhi hubungan sesama manusia. Dalam masyarakat orang percaya saat ini, terdapat paham yang mengatakan bahwa kristus dan budaya adalah dua hal yang tidak bisa digabungkan. Hal ini mendorong sebagian orang percaya untuk tidak memegang kebudayaan dalam lingkungan kekristenan. Akan tetapi di lain pihak ada orang percaya yang tetap memegang budaya yang diwarisi dari nenek moyangnya, walaupun sudah menerima ristus di dalam hidupnya. Kedua golongan ini, memegang paham yang memiliki tujuan supaya iman terhadap kristus tidak terlupakan. Dalam kekristenan di Asia selalu muncul masalah tentang bagaimana menanggapi ristus  dan budaya. Dalam masyarakat kristen sekarang ini, terdapat golongan yang memiliki ristus dan ajaran kekristenan dan dalam waktu yang bersamaan memlakukan juga ajaran kebudayaan. Robert J. Schreiter mengungkapkan dalam bukunya:
Dalam sistem-sistem berganda, sekelompok masyarakat mengikuti praktek-praktek keagamaan dari dua sistem yang berbeda. Kedua sistem itu dipertahankan tetap terpisah; mereka dapat bekerja berdampingan. Kadang-kadang sebuah sistem diikuti dengan lebih setia ketimbang yang lainnya (sebagaimana di Afrika, di mana orang mengikuti sistem kristen, namun tetap mempertahankan unsur-unsur tertentu dari sistem tradisional); ...14

                   Perpalingan kepada kekristenan biasanya berarti bahwa suatu praktek hidup yang membuang semua sistem keagamaan lainnya tetapi dalam nyatanya dalam praktek hidup sebagian orang kristen tetap mempertahankan bagian-bagian penting atau keseluruhan dari sistem yang dus tersebut. Hal inilah yang dihadapi gereja sekarang pada saat ini. Dengan situasi yang seperti ini perlu adanya pembaharuan pemahaman terhadap Kristus dan kebudayaan. Pandangan yang baik terhadap hubungan Kristus dan kebudayaan membuat sikap dan praktek hidup yang baik dalam mengikut Tuhan.
Kristus Lawan Kebudayaan
Kristus terhadap budaya merupakan hal yang sulit untuk diputuskan bagaimana hubungannya. Orang Kristen yang sudah memiliki Kristus dalam hidupnya adalah orang yang memenuhi segala tuntutan Kristus dalam hidupnya. Namun sebagai mahluk bermasyarakat, orang Kristen hidup dalam lingkungan yang berbudaya. Sejak Injil masuk ke dalam bangsa Indonesia mengalami masalah terhadap kebudayaan. Kebudayaan menjadi suatu hal yang mempengaruhi masuk dan berkembangnya Injil di Indonesia. Sebagaimana yang disebutkan oleh Suh Sung Min dalam bukunya bahwa: “Kadang-kadang penyembahan nenek moyang menjadi suatu penghalang dalam pelaksanaan amanat agung Kristus dan kehidupan iman sehari-hari di Indonesia maupun di Korea. Oleh sebab itu masalah penyembahan nenek moyang ini menjadi masalah misiologis dalam rangka perjumpaan Injil dan Kebudayaan-kebudayaan.”15
Setelah masuknya Injil dalam bangsa Indonesia menimbulkan kontra terhadap kebudayaan. Dimana seorang yang sudah menerima Kristus harus sepenuhnya menerima Kristus dalam hidup yang baru. Hidup yang baru yangimaksud adalah hidup bersama dengan Kristus dengan menjalankan semua ajaran-ajaran Kristen. Dengan demikian menolak kebudayaan. Setiap orang yang yg sudah menjadi Kristen, dalam arti sudah di dalam Kristus adalah cuiptaan baru. Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang (2 Koristus 5:17). Dalam konteks ini, kota Korintus berada dalam keadaaan yang masyarakat yang tidak bermoral. Kota Korintus adalah kota yang strategis dari segi geografis. Sehingga dalam kota tersebut banyak golongan manusia yang datang untuk berdagang. Setiap orang yang datang membawa juga kepercayaan dan budaya yang berbeda. Dalam keadaan yang seperti ini kota Korintus mengalami kemerosotan dalam budaya dan kerohanian. Dalam bukunya, Merill C. Tenney berkata bahwa: ”Karena sebagian terbesar dari anggota jemaat adalah bukan orang Yahudi yang belum pernah dididik dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, dan yang latar belakang religius serta moralnya sangat bertolak belakang dengan norma-norma kristiani, banyak hal yang harus diajarkan kepada mereka sebelum mereka mencapai kedewasaan rohani (1 Korintus 3:1-3).”16 Dengan keadaan yang seperti ini, jemaat di korintus harus memisahkan diri dari orang-orang yang memiliki moral yang tidak baik.
Paulus menyampaikan dalam suratnya kepada jemaat di Korintus supaya menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan amoral yang dilakukan oleh sebagian besar orang-orang yang ada di Korintus. Sebagai kota yang berpenduduk tidak bermoral, masyarakat Korintus berada dalam kondisi budaya yang tidak baik (bertolak belakang dengan ajaran Kristus). Sebab jika  demikian, mereka tidak pantas disebut sebagai pengikut Kristus.
Dalam suratku telah kutuliskan kepadamu, supaya kamu jangan bergaul dengan orang-orang cabul.Yang aku maksudkan bukanlah dengan semua orang cabul pada umumnya dari dunia ini atau dengan semua orang kikir dan penipu atau dengan semua penyembah berhala, karena jika demikian kamu harus meninggalkan dunia ini.Tetapi yang kutuliskan kepada kamu ialah, supaya kamu jangan bergaul dengan orang, yang sekalipun menyebut dirinya saudara, adalah orang cabul, kikir, penyembah berhala, pemfitnah, pemabuk atau penipu; dengan orang yang demikian janganlah kamu sekali-kali makan bersama-sama.17

Paulus menyebutkan dalam suratnya kepada jemaat di Korintus bahwa Sebagai pengikut Kristus, mereka haruas meninggalkan hidup mereka yang lama dan menjadi ciptaan yang baru di dalam Kristus. Jadi dalam konteks Kristus melawan kebudayaan, Kristus ingin setiap orang yang mengikutNya harus meninggalkan setiap hidup yang lama, termasuk budaya. Kristen yang sudah dibaharui masuk dalam keadaaan taat sepenuhnya kepada hukum Kristus tanpa melakukan lagi apa yang dilakukan dalam hidup yang lama yaitu kebudayaan. Kehidupan Kristen adalah kehidupan yang tidak melakukan lagi apa yang diinginkan oleh keinginan dunia. Keinginan dunia berbeda dengan apa yang diinginkan oleh Kristus. Oleh karena itu, yang diinginkan Kristus bertentangan dengan yang diinginkan oleh dunia yang didalamnya budaya. Itulah sebabnya Kristus melawan budaya.
Kristus tidak ingin jika Kehidupan kristen digabungkan dengan kebudayaan. Pemahaman semacam ini memperlihatkan kontra antara Krstus dan Kebudayaan. Kristus sama sekali tidak mau kompromi dengan budaya. Pemahaman atas Kristus melawan kebudayaan memperlihatkan bahwa Kristus memiliki otoritas penuh atas orang Kristen dan dengan tegas moenolak tuntutan kebudayaan untuk kesetiaan. Allah adalah kasih, jika Allah ada di dalam diri seseorang, maka orang tersebut menyebut dirinya mengasihi Allah. Ketuhanan Yesus Kristus sama besarnya dengan gagasan kasih. Dengan demikian, Kristus adalah kunci kepada kerajaan kasih karena dalam hal inilah kasih Allah dinyatakan di tengah-tengah umat manusia, yaitu bahwa Yesus telah menyerahkan nyawaNya dan umat manusia pun wajib menyerahkan nyawa bagi Dia. Hal ini berarti orang-orang yang mengasihi Allah tunduk kepada otoritas Kristus sehingga tidak seorangpun dapat menjadi anggota persekutuan Kristen jikalau tidak mengakui Yesus sebagai Kristus dan Anak Allah, dan yang tidak mengasihi saudaranya dalam ketaatan kepada Tuhan.
Taat kepada Kristus berarti mengasihi Kristus dan membenci dunia dan segala yang ada di dalamnya. ”Pernyataan padat dan jelas tentang arti positif dari kekristenan ini diiringi oleh penyangkalan yang seimbang. Seimbang dengan kesetiaan kepada Kristus dan sesama saudara adalah penolakan terhadap masyarakat budaya; satu garis pemisah yang jelas dibuat antara persaudaraan anak-anak Allah dan dunia.”18 Orang-orang percaya yang sudah menjadi milik Kristus terpisah dari dunia dan kebudayaan yang ada di dalamnya. Kristus memberi perintah kepada orang percaya untuk tidak mengasihi dunia. Sebab jika seseorang mengasihi dunia, maka kasih akan Dia menjadi tidak ada dalam orang tersebut.
Janganlah kamu mengasihi dunia dan apa yang ada di dalamnya. Jikalau orang mengasihi dunia, maka kasih akan Bapa tidak ada di dalam orang itu.Sebab semua yang ada di dalam dunia, yaitu keinginan daging dan keinginan mata serta keangkuhan hidup, bukanlah berasal dari Bapa, melainkan dari dunia.Dan dunia ini sedang lenyap dengan keinginannya, tetapi orang yang melakukan kehendak Allah tetap hidup selama-lamanya.19

Orang Kristen sama sekali tidak kompromi dengan dunia dan kebudayaan yang ada di dalamnya. Dari kutipan di atas jelas terlihat bahwa dunia bagai suatu kawasan yang berada di bawah kekuasaan si jahat, itu adalah kerajaan kegelapan dan orang kristen sebagai warga kerajaan ternag tidak boleh masuk ke dalamnya. Kerajaan kegelapan ini ditandai dengan hadirnya dusta, kebencian dan pembunuhan.
Dunia adalah masyarakat sekuler, dikuasai oleh ”nafsu kedagingan, nafsu mata dan kesombongan hidup ,” atau dalam terjemahan prof. Dodd atas bagian ini, itu adalah ”masyarakat kafir dengan hawa nafsunya, kedangkalan dan kepura-puraannya, dengan materialisme dan egoismenya.” itu adalah suatu kebudayaan yang berminat kepada nilai-nilai sementara dan yang akan berlalu sedang kata-kata Kristus adalah kata-kata dari hidup yang kekal; dunia akan mati sebagaimana halnya suatu aturan pembunuhan karena ”dunia akan berlalu dengan nafsunya,”.20

                   Dunia ini akan mati bukan hanya sekedar karena keinginannya yang bersifat sementara, tetapi karena Kristus sudah datang untuk menghancurkannya. Dengan demikian kesetiaan orang yang percaya sepenuhnya kepada Kristus memberi keadaan baru dalam susunan masyarakat yang baru, yaitu warga kerajaan Allah dan memiliki Tuhan yang baru yang harus ditaati dengan sepenuhnya. Orang kristen menjadi satu warga baru yang terpisah dari dunia dan orang-orang yang belum percaya. Orang kristen terpisah dari kebudayaan orang-orang di dunia dan memiliki hidup yang baru di dalam Kristus sebagai warga kerajaan sorga. ” Karena kewargaan kita adalah di dalam sorga, dan dari situ juga kita menantikan Tuhan Yesus Kristus sebagai Juruselamat, yang akan mengubah tubuh kita yang hina ini, sehingga serupa dengan tubuh-Nya yang mulia, menurut kuasa-Nya yang dapat menaklukkan segala sesuatu kepada diri-Nya.”21 Status orang Kristen berbeda dengan orang yang belum percaya kepada suatu keadaan baru. Keadaan baru tersebut menampilkan keKristenan sebagai suatu cara hidup yang cukup terpisah dari kebudayaan.
                   Dalam pandangan golongan ini, memisahkan diri dari dunia dan kebudayaannya didasari oleh ketaatan kepada hukum-hukum Kristus dan dalam usaha mengejar kesempurnaan sepenuhnya. Banyak kelompok Kristen yang meninggalkan dan tidak mempraktekkan budaya dalam kehidupan kekristenan. ” Ratusan kelompok yang lain dan banyak diantaranya sudah lenyap, dan ribuan individu merasa diri terdorong oleh kesetiaan kepada Kristus untuk mengundurkan diri dari kebudayaan dan melepaskan semua tanggungjawab terhadap dunia.”22 Sikap radikal, Kristus menentang kebudayaan. Ini merupakan sikap radikal dan ekslusif, menekankan pertantangan antara Kristus dan Kebudayaan. Menurut pandangan ini, semua situasi dan kondisi masyarakat berlawanan dengan keinginan dan kehendak Kristus. Oleh sebab itu, manusia harus memilih Kristus atau kebudayaan, karena seseorang tidak dapat mengabdi kepada dua tuan. Dengan demikian, semua praktek dalam unsur-unsur kebudayaan harus ditolak ketika percaya pada Yesus Kristus. Injil dipandang bertentangan dengan kebudayaan. Artinya, menjadi orang percaya haruslah menentang kebudayaan, sebab kebudayaan akan menghambat tumbuhnya kesucian hati untuk dapat diterima Tuhan. Mereka menjalani hidup kekristenannya dengan cara mengasingkan diri, tinggal di tempat terpencil/bertapa, bahkan menyiksa tubuhnya sendiri. Dengan cara hidup seperti itu mereka beranggapan bahwa itulah cara hidup untuk menekankan kesucian di depan Tuhan. Prinsip hidup semacam itu pernah dijalani oleh orang-orang Kristen pada abad-abad pertama.
Kristus Dari Kebudayaan

                    Paham Kristus dari kebudayaan adalah suatu paham yang muncul dari golongan orang kristen yang berusaha membuktikan bahwa Budaya tidak bertentangan dengan Kristus. Pemahaman seperti ini muncul sebagai akibat dari adanya orang-ornag yang tidak setuju dengan adanya paham Yesus melawan Krisrus. Sebagaimana manusia biasa yang tinggal di dalam lingkungan masyarakat yang memiliki budaya, Yesus juga tinggal dalam lingkiungan yang sama. Oleh sebab itu, budaya sangat berkaitan dengan Kristus. Akan tetapi paham yang mengetengahkan Yesus melawan kebudayaan membuat sebagian Kristen membentuk kelompok beberapa yang berbeda. Salah satu nama dari kelompok tersebut adalah Gnostik. ”Dilihat dari segi masalah kebudayaan upaya orang-orang Gnostik untuk memperdamaikan Kristus dengan ilmu pengetahuan dan filsafat pada jamannya bukanlah suatu akhir tetapi suatu sarana.”23 Upaya orang-orang Gnotisme ini membawa peralihan dari paham Kristus melawan kebudayaan kepada suatu pemahaman Kristus dari kebudayaan. Karena ternyata ditemukan suatu hubungan yang baik antara Kristus dan kebudayaan.
Golongan Genostik muncul dari golongan orang-orang bukan Yahudi. Pandangan terhadap hubungan budaya Yahudi dan Kristus tidak begitu muncul dalam permasalahan ini sebab Yesus sendiri lahir dan menjadi manusia dalam lingkungan bangsa Yahudi. Akan tetapi yang menjadi masalah yang lebih sering muncul adalah hubungan antara budaya bukanYahudi dan Kristus. Orang-orang bukan Yahudi ini adalah orang-orang yang disebut dalam golongan Gnostik.
Semasa awal ke Kristenan non-Yahudi, banyak modifikasi dari tema Kristus-kebudayaan mengkombinasikan minat bagi kebudayaan yang sedikit banyak bersifat positif dengan kesetiaan fundamentil kepada Yesus. Orang-orang kristen radikal dari masa yang kemudian cenderung untuk menggolongkan mereka semua pada orang-orang yang tak berbeda dengan kelompok terbuang karena berkompromi atau ke Kristenan yang murtad; tetapi ada perbedaan besar diantara mereka. Sikap yang ekstrim, yang menafsirkan Kristus sepenuhnya dalam ukuran budaya dan cenderung untuk meniadakan semua bentuk ketegangan di antara Yesus dan kepercayaan sosial atau kebiasaan, diwakili dalam dunia Ellenisme oleh kaum Gnostik Kristen.24

                   Orang-orang dari golongan Gnostik ini berusaha untuk menemukan jalan keluar atas masalah yang dihadapi oleh  ke Kristenan yaitu hubungan antara Kristus dan budaya. Dari pandangan Gnostik yang menyesuaikan Kristus dengan budaya ditemukan suatu pemahaman Kristus dari  kebudayaan.
                   Timbulnya pemahaman ini adalah gerakan dari orang-orang non-Yahudi yang tidak memahami Lakitab sepenuhnya. Pemahaman ini dilatarbelakangi oleh orang-orang filsafat yang mencoba untuk memahami Alkitab dengan ilmu pengetahuan. Filsafat artiya adalah mencintai hikmat atau mencintai kebijaksanaan.Jonar Situmorang disebutkan bahwa: ”Jadi, secara singkat dapat dikatakan bahwa filsafat dapat berarti cinta akan hikmat atau kebijaksanaan.”25 Dengan adanya filsafat ini, ke Kristenan dipahami dengan menggunakan filsafat. Orang Kristen tidak lagi memahami Alkitab sebagaimana yang dikatkan Alkitab. Alkitab ditafsirkan dengan menggunakan hikmat dan pengetahuan. Itu memberi arti bahwa Alkitab dipahami dengan menggunakan akal. Dengan menggunakan akal orang-orang Kristen memahami hubungan antara Kristus dengan kebudayaan, sehingga muncul pemahaman Kristus dari kebudayaan. Sejak munculnya orang-orang filsafat tersebut, Alkitab mulai dipahami dengan ilmu pengetahuan. Bahkan yang lebih herannya lagi Alkitab dipahami dengan pemahaman akal yang disebut rasionalisme.rasionalisme dengan kata dasar rasio adalah suatu pemahaman dengan menggunakan akal pikiran manusia. ”Rasio melihat apa yang nyata, riil, dapat diraba, masuk akal, dan logis sedangkan iman melampaui semuanya ini.”26 Dengan rasiolah dipahami tentang Kristus dan budaya. Sikap rasionalisme membuat sebagian orang Kristen menempatkan rasio sebagai tolak ukur kebenaran. ”Sikap religius ini menghasilkan penilaian yang tinggi atas semua kecakapan manusia, khususnya rasionya sebagai otoritas tertinggi dan patokan yang menentukan kebenaran. Rasio dan rasio sajalah yang dianggap mampu dan tepat untuk menilai dunia fenomenal dan noumena.”27 Pemahaman dengan rasio ini mulai berkembang sehingga memberikan suatu kontribusi terhadap munculnya pemahaman yang menyatakan bahwa Kristus dari kebudayaan. Pada saat munculnya pemahaman ini, timbul perlawanan dari Katolik, yang tidak setuju dengan pemahaman ini.
                   Dilihat dari sisi yang lain pemahaman ini bertujuan untuk memperluas kerajaan Allah melalui budaya. ”Tetapi kita diingatkan untuk tidak memberi perlakuan yang tidak baik tetrhadap posisi ini melalui refleksi bahwa beberapa kritiknya yang keras memberi andil dalam sikap umum yang mereka pikirkan untuk ditolak; dan melalui pengenalan bahwa suatu gerakan yang sudah berlangsung lama, pengkulturasian Kristus selain tidak terelakkan juga teramat penting dalam perluasan kerajaanNya.”28 Pemahaman Kristus dari kebudayaan ini memiliki tujuan yang sebenarnya adalah untuk memberitakan Injil. Tokoh-tokoh kristen pada jaman yang sebelumnya selalu berusaha untuk memberitakan Injil dalam suatu negara atau wilayah. Dalam wilayah tempat Injil ingin diberitakan ditemui berbagai ragam budaya. Dengan demikian, dacari solusi untuk memberitakan Injil dengan menggunakan kebudayaan setempat. Dengan harapan Injil diterima dengan baik dan berkembang di daerah Injil diberitakan.
Walaupun tujuan banyak orang Kristen yang menafsirkan Kristus sebagai Mesias dari suatu kebudayaan adalah keselamatan atau pembaharuan kebuadayaan itu ketimbang perluasaan kekuasaaan Kristus, namun mereka memberi sumbangan besar kepada yang terakhir inidengan jalan membantu manusia memahami injil Yesus dalam bahasanya sendiri, memahami watak Yesus melalui gambarannya sendiri, dan memahami wahyuNya tentang Allah dengan bantuan filsafatnya sendiri.29

                   Dalam penulisan terjemahan Alkitab ke dalam bahasa suatu budaya memakai kebudayaan yang ada di daerah tersebut. Tidak sama halnya terjemahan Alkitab yang dipakai untuk bahasa Ibrani dan bahasa Batak. Alkitab bahasa Ibrani diterjemahkan sebagian dengan menggunakan beberapa kebudayaan Yahuudi. Tetapi berbeda ketika Alkitab diterjemahkan ke dalam bahsa Batak Toba. Sebab dalam memberi gambaran atas penjelasan Alkitab memakai budaya setempat dalam terjemahannya. Itu berarti bahwa Kristus bukan hanya dari satu suku atau kebudayaan saja. Firman Allah sebagaimana disampaikan kepada manusia dengan kata-kata manusia. Dan kata-kaata manusia adalah hal budaya bersama dengan konsep-konsep yang berhubungan dengan kata-kata tersebut. Alkitab sebagai firman Allah yang harus disampaikan kepada semua orang tidak membatasi diri dalam satu bahasa untuk semua orang. Tetapi bagi budaya tertentu Alkitab diterjemahkan dalam bahasa setempat dan banyak kebudayaan diwakili dalam Alkitab. Hal ini dilakukan untuk menyatakan Injil dan kebenaran bahwa Yesus adalah Juruselamat. Bukan juruselamat dari satu kelompok kecil saja, tetapi dari dunia, sehingga muncul pendirian Kristus dari kebudayaan.
Kristus Di atas Kebudayaan
                   Saat ini, diantara masyarakat Kristen muncul sikap yang memiliki pemahaman : Kristus diatas kebudayaan. Sikap ini dimiliki oleh orang Kristen yang sudah percaya Yesus, tetapi ingin mempertahankan kebudayaan yang dimiliki. Kebanyakan orang Kristen memegang kebudayaan dengan alasan bahwa kebudayaan ikut berperan penting dalam pembentukan karakter seseorang ke arah yang lebih baik. ”Adat dibutuhkan sebagai fktor-penertib, yang melindungi kehidupan yang benar dan yang menyokong perilaku yang baik.”30 Pemahaman yang sperti ini membuat seorang Kristen meletakkan imannya di dalam Yesus tetapi juga melakukan tuntutan kebudayaan secara keseluruhan.
Adat itu perlu mutlak sebagai tatatertib kehidupan sukubangsa. Namun perlu juga melihat atau mempersoalkan sifat khas adat tersebut sebagai patokan atau pedoman yang bersaingan dengan etika yang timbul dari kepercayaan kepada Yesus Kristus. Sebagai anggota dari suatu kelompok masyarakat, dituntut untuk melakukan asegala tuntutan kebudayaan setempat. Akan tetapi sebagai seorang anggota dari orang percaya, dituntut untuk mematuhi segala perintah dan ketetapan Allah. Orang Kristen berada di dalam kedua kenggotaan tersebut sehingga muncul suatu golongan yang melakukan segala tuntutan hukum Allah tetapi juga melakukan segala tuntutan kebudayaan. Dengan adanya sikap seperti ini maka timbul suatu pemahaman: Kristus diatas kebudayaan.
                   Sikap ini menunjukkan adanya suatu keterikatan antara Kristus dan kebudayaan atau ajaran iman Kristen dan tuntutan kebudayaan. Hidup dan kehidupan manusia harus terarah pada tujuan ilahi dan juga berhubungan dengan masyarakat. Ia harus mempunyai dua tujuan sekaligus. Tujuan kehidupan manusia tidak terbatas pada dunia. Ia perlu mencari hidup kekal yang disempurnakan di dunia yang akan datang. Namun, ia juga bertanggungjawab di dunia. Ia perlu mengasihi dan membangun masyarakat tetapi juga mengasihi Tuhan Allah. Dengan itu, maka yang dilakukan adalah melaksanakan semua tuntutan keagamaan dan sekaligus unsur-unsur kebudayaan yang mungkin saja bisa bertantangan dengan Firman Tuhan.Sikap Dualis: Kristus dan Kebudayaan Dalam Paradoks.
Sikap dualis menunjukkan bahwa manusia mengakui kewajiban untuk mentaati Kristus dan mengembangkan kebudayaan sambil juga membedakan antara dua kewajiban itu. Orang Kristen wajib melayani Tuhan dalam dunia dan melalui dunia serta kebudayaan. Melayani Tuhan dalam gereja dan sekaligus melayani melalui gereja. Dengan ini muncul warga gereja yang sngguh-sungguh tetapi sekaligus ia melakukan semua tuntutan adat istiadat. Dengan pemahaman seperti ini, terkadang menonjol dalam satu hal saja. Ada kalanya lebih mengutamakan yang satu dan mengabaikan yang lain. Yang mengherankan adalah orang Kristen sendiri mengutamakan kebudayaan daripada Kristus. Hal ini disebabkan oleh sikap yang terlalu menonjolkan kebudayaan. ”Kita justru hidup dalam zaman seperti ini, sebab dasarnya adalah kita terlalu membanggakan kebudayaan manusia, tetapi tidak mau firman Tuhan.”31 Namun orang-orang yang seperti ini adalah orang yang sudah mengalami kemunduran dalam prestasi kerohanian. Dalam pemahaman Kristus diatas kebudayaan tidak mengambil pilihan Kristus dan kebudayaan. Jika hal ini terjadi, berarti menganggap Kristus setara dengan kebudayaan. Juga tidak memilih salah satu dari dua pilihan Kristus atau kebudayan. Jika demikian memilih yang satu dan mengabaikan yang lain. Sementara Sebagai orang Kristen, menerima Kristus sebagai yang tertinggi dalam kehidupan sendiri tetapi tidak mengabaikan kebudayaan setempat. Orang Kristen tidak tanpa alasan tetap memegang dan melakukan tuntutan-tuntutan kebudayaan. Akan tetapi, Yesus sendiri berpesan untuk tunduk kepada pemerintah.
Janganlah kamu berpikir bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat dan para nabi; Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya. Karena sesungguhnya Ku berkata kepadamu: sampai langit dan bumi lenyap, satu noktah atau satu titikpuntidak akan ditiadakan dari hukum taurat sampai semuanya terjadi. Karena itu siapa yang mengurangi salah satu perintah hukum Taurat yang terkecil sekalipun dan mengajarkan demikian kepada orang lain, ia akan disebut sebagai yang terkecil dalam kerajaan surga; tetapi siapa yang melakukan dan mengajarkan segala perintah hukum taurat akan disebut besar dalam kerajaan surga. Berikanlah kepada kaisar apa yang menjadi milik kaisar dan kepada Allah apa yang memang milik Allah. Biarlah tiap-tiap orang tunduk kepada kuasa yang memerintah. Sebab tidak ada pemerintah yang tidak berasal dari Allah; dan pemerintah-pemerintah yang ada, sudah ditetapkan oleh Allah....pemerintah adalah pelayan Allah.32

              Dari ungkapan tersebut, Yesus mengajarkan kepada setiap orang percaya untuk tidak melawan kepada pemerintah dan kebudayaan yang ada di dalam nya. Akan tetapi ketaatan yang dimaksudkan oleh Yesus adalah ketaatan dalam konteks takut akan Tuhan. Sebab pemerintah adalah pelayan Allah. Artinya bahwa orang Kristen yang melakukan tuntutan kebudayaan tidak lepas dari konteks takut akan Tuhan. Seorang tokoh dari pemahaman ini mengemukakan pendapatnya bahwa di atas segalanya haruslah seorang yang baik sesuai dengan patokan dari kebudayaaan yang baik. Kristus mengundang orang untuk mencapai dan menjanjikan mereka realisasi suatu kesempurnaan yang bahkan lebih besar dari apa yang diperoleh seorang bijaksana. Yang tahan nafsu.
Dalam pemahaman ini dihayati bahwa Kristus sendiri tidak menolak kebudayaan, bahkan sangat menghormatinya. Kebudayaan tidak perlu dimusuhi. Karena kebudayaan merupakan salah satu realisasi jatidiri manusia yang telah diberi akal budi oleh Allah. Sebab tidak dapat dipungkiri bahwa melalui kebudayaan manusia dapat mengenal tentang apa yang baik dan buruk (nilai-nilai hidup). Hanya saja nilai-nilai hidup yang ditawarkan oleh kebudayaan itu tidak mungkin mencapai pada pengenalan akan Allah yang sejati. Oleh karena itu kebudayaan membutuhkan tambahan, yaitu anugerah Allah (dalam hal itu: Yesus Kristus). Yesus Kristus memberi nilai plus pada kebudayaan.
Dalam pemahaman Kristus di atas kebudayaan dihayati bahwa selama Injil berada di dunia, maka Injil atau orang percaya akan selalu berada dalam suasana pergumulan. Pada satu sisi percaya adalah anggota keluarga Allah, tetapi di sisi lain orang percaya masih banyak terikat oleh kebutuhan dan juga godaan dunia. Keadaan seperti ini sangat sulit kita hindari. Perhatikan gambar di samping ini. Kondisi orang percaya selalu berada dalam ketegangan dengan dunia atau kebudayaan. Hal yang perlu dilakukan dalam posisi seperti ini adalah upaya untuk selalu mengedepankan kehendak Tuhan supaya kita tetap dapat hidup dengan baik di dunia serta berkenan di hadapan Tuhan.
Kristus dan Kebudayaan Dalam Paradoks
                  Usaha-usaha menyatukan Kristus dan kebudayaan telah menjadi sasaran orang percaya sepanjang sejarah. Hingga saat ini masih ditemui beberapa gereja yang memiliki pandangan berbeda mengenai Kristus dan kebudayaan. Di satu sisi Kristus terpisah dari kebudayaan dan sisi yang lain kebudayaan tidak terpisah dari Kristus dan masyarakat. Dengan keadaan yang demikian muncul suatu golongan masyarakat paradoks yang disebut kaum dualis. Karena ingin namanya lebih baik, kaum dualis berusaha menjawab masalah Kristus dan kebudayaan dengan melihat kedua-duanya tidak ada yang lebih baik atau buruk. “…yaitu oleh pihak yang berusaha untuk menjawab masalah Kristus dan kebudayaan dengan suatu “keduanya-dan”.”33 Kaum dualis berusaha untuk berlaku adil kepada kebutuhan untuk menyatukan dan untuk membedakan antara kesetiaan kepada Kristus dan tanggung jawab bagi kebudayaan. Masalah dalam kaum ini terletak pada kebenaran Allah dan kebenaran diri. “Di satu pihak adalah kita dengan segala kegiatan kita, negara-negara dan gereja-gereja kita, karya-karya kafir dan karya karya kristen kita; di lain pihak adalah Allah dalam Kristus dan Kristus dalam Allah.”34
                   Masalah Kristus dan kebudayaan dalam situasi ini bukanlah issu yang ditempatkan oleh manusia pada dirinya sendiri tetapi suatu issu yang ditanyakan kepada Allah kepadanya;bukanlah sesuatu tentang orang kristen dan orang kafir tetapi suatu pertanyaan tentang Allah dan manusia. Allah adalah anugrah dan manusia ada dalam dosa. Anugrah tidak diberikan kepada manusia melalui perbuatan-perbuatan. Anugrah selalu ada dalam perbuatan Tuhan; itu adalah atribut Allah karena anugrah sepenuhnya milik Allah. Akan tetapi, manusia ada dalam dosa dan dosa ada dalam manusia. “Di hadapan Tuhan yang maha mulia yang disalibkan, manusia melihat seluruh usaha dan kerja mereka tidak hanya secara menyedihkan, tidak cukup diukur dengan ukuran kebaikan, tetapi juga najis dan busuk.”35 Kebudayaan itu dinilai sangat kotor dan mengandung dosa. Kaum dualis mengatakan bahwa dihadapan kesucian Allah tidak ada perbedaan antara kebudayaan yang satu dengan kebudayaan yang lain, sebab semuanya adalah kotor.
Kebudayaan manusia itu bejat; dan ini meliputi semua karya manusia, tidak hanya meliputi prestai-prestasi di luar gereja, tetapi juga di dalamnya, tidak hanya filsafat sejauh hal itu adalah prestasi manusia tetapi teologia ,juga, tidak hanya pembelaan orang Yahudi tentang hukum mereka tetapi juga pembelaan Kristen tentang ajaran Kristen.36
                 
Semua perbuatan manusia, semua kebudayaan, diajari oleh keingkaran terhadap Allah, yang merupakan hakekat dosa. Keingkaran terhadap Allah muncul sebagai kehendak untuk hidup tanpa Allah, untuk mengabaikanNya, untuk menjadi sumber dan permulaannya sendiri, untuk hidup tanpa berhutang budi dan diampuni, untuk madiri dan yakin akan diri sendiri, untuk menjadi seperti ilah dalam diri sendiri. “Karena itu orang dualis bergabung dengan orang Kristen radikal dalam menyatakan bahwa seluruh kebudayaan manusia mengingkari Tuhan dan menderita sakit ke arah kematian.”37 Namun ada perbedaan di antara kaum ini: kaum dualis mengetahui bahwa ia termasuk dalam kebudayaan itu dan tidak dapat keluar dari padanya, dan bahwa Allah memang menyokongnya di dalam dan dengan kebudayaan itu.
     Dalam keadaan ini tidak hanya pembicaraanya bersifat paradoks tetapi juga sikapnya. Ia ada di bawah hukum tetapi juga di bawah anugrah; ia orang berdosa, namun benar; ia percaya sebagai orang yang ragu-ragu; ia mempunyai kepastian namun berjalan disepanjang ketidakpastian. Jadi, dalam pandangan ini juga tidak ditemukan jalan keluar terhadap Kristus dan kebudayaan.
Kristus Pengubah Kebudayaan
Kristus pengubah kebudayaan. Sikap ini menunjukkan bahwa Kristus sebagai penebus yang memperbaharui masyarakat dan segala sesuatu yang bertalian di dalamnya. Hal itu bukan bermakna memperbaiki dan membuat pengertian kebudayaan yang baru melainkan memperbaharui hasil kebudayaan. Oleh sebab itu, jika orang percaya mau mempraktekan unsur-unsur budaya, maka perlu memperbaikinya agar tidak bertantangan dengan Firman Tuhan. Hal itu merupakan tugas manusia. Manusia yang membawa amanat Kristus harus membaharui hal-hal lama dalam masyarakat. Karena perkembangan dan kemajuan masyarakat, maka setiap saat muncul hasil-hasil kebudayaan yang baru. Oleh sebab itu, upaya pembaharuan kebudayaan harus terus menerus.
Dalam arti, jika masyarakat lokal mendapat pengaruh hasil kebudayaan dari luar komunitas budaya, maka mereka wajib melakukan pembaharuan agar dapat diterima, cocok, dan tepat ketika mengfungsikan atau menggunakannya.Dalam pemahaman ini dihayati bahwa kehadiran Injil di tengah dunia adalah untuk memperbaharui dunia-kebudayaan. Ada seorang teolog terkenal yakni Johanes Calvin yang mengungkapkan bahwa dengan kehadiran Kristus, maka seseorang dipanggil untuk menjadikan dunia sebagai panggung untuk memuliakan Allah. Kebudayaan tidak perlu dimusuhi atau ditentang, melainkan seseorang bisa memberi makna baru pada suatu kebudayaan. “Bagi Agustinus Kristus adalah pengubah kebudayaan dalam arti bahwa Ia memberi arah baru, mberi tenaga baru, dan meregenerasikan hidup manusia, yang dinyatakan dalam semua karya manusia, . . . .”[38] Orang Kristen perlu memanfaatkan budaya sebagai kekayaan kasih karunia-Nya yang melimpah-limpah untuk semakin menghayati iman kristianinya dan memaknai hidupnya di tengah kultur yang beragam sehingga Tuhan dikenali, bukan diingkari, agar Tuhan diyakini, bukan disangkali. “supaya pada masa yang akan datang Ia menunjukkan kepada kita kekayaan kasih karunia-Nya yang melimpah-limpah sesuai dengan kebaikan-Nya terhadap kita dalam Kristus Yesus.”[39] Orang percaya, dengan lebih dulu mengasihi Allah atau dengan didorong oleh kasih kepada Allah menggunakan kebudayaan untuk memuji Tuhan. Kristus yang ada dalam diri orang percaya mengubah pola pikir terhadap kebudayaan tersebut. Dengan sikap yang mengasihi Tuhan menggunakan karyanya untuk memujiNya. Sebagai contoh dalam lingkungan orang Batak, kebudayaan diubah karena pengaruh dari zending-zending dan para raja dalam periode awal masuknya Injil.
Adat bukanlah suatu hal yang tak berubah. Pengakuannya oleh para zendeling membawa-serta perubahan-perubahan dalam adat. Pertama, dengan sengaja adat diubah oleh para utusan zending dan oleh para raja. Mereka membagi-bagi adat atas ketentuan-ketentuan dan unsur-unsur yang bersifat anti-kristen, yang netral, dan yang pro-kristen, dan kemudian memanfaatkannya sesuai dengan pembagian tersebut. Dan adat menjadi terpengaruh oleh kekuatan Injil.[40]
Tidak semua kebudayaan itu adalah jahat dan tidak baik. Akan tetapi banyak hal yang terkandung dalam kebudayaan membentuk moral seseorang lebih baik. Bukan hanya orang yang belum percaya, tetapi juga orang percaya yang senantiasa taat kepada Allah.
Kebaikan-kebaikan moral yang dikembangkan manusia dalam kebudayaan mereka yang sesat tidak diganti dengan anugrah-anugrah baru, tetapi telah diubah dengan kasih. Ketenangan adalah kasih yang memelihara diri sepenuhnya dan tak bercela bagi Allah; kekuatan jiwa adalah kasih yang menanggung segala sesuatu demi untuk Alla; keadilan adalah kasih, yang hanya melayani Allah dan karena itu mengatur segala hal yang lainnya dengan baik; berhati-hati adalah kasih memuat pembedaan yang benar antara apa yang membantu untuk menuju kepada Allah dan apa yang dapat menghalanginya.[41]
Seorang kristen hidup dalam suatu kebudayaan dimana semua perbuatannya telah diatur kembali oleh perbuatan anugrah Allah yang menarik semua orang kepada diriNya. Dan dimana semua orang aktif dalam karya-karya yang diarahkan kepada dan dengan demikian mencerminkan kasih dan kemuliaan Allah. Dalam paham ini, Kristus disebut sebagai pemberi hidup baru dalam kebudayaannya. Sebagai manusia di dunia ini, orangpercaya tidak lepas dari kebudayaan. “Manusia bukan hanya hidup selama beberapa puluh tahun di dunia, setelah manusia meningal, sifat budaya masih bisa berpengaruh bagi generasi berikut, sedangkan sifat agamanya membawa dia pulang ke tempat kekekalan dengan sejahtera.”[42] Kristus dan budaya memiliki peranan masing-masing dengan tujuan yang berbeda. Budaya memiliki peran yang luas dalam aspek kehidupan manusia. ”Saya menghargai perluasan kesadaran global; pemahaman terhadap arena-arena budaya, pendidikan, sosial, dan politik yang berbeda-beda; manfaat-manfaat dari hiburan .... mampu mengkomunikasikan pesan-pesan secara instan dan global.”[43] dalam hal ini, budaya memiliki peranan yang baik dalam kehidupan manusia. Termasuk di dalamnya adalah orang percaya.


                         9H. Richard Niebuhr, Kristus Dan Kebudayaan ( Jakarta: Petra Jaya, 2006) 4.
10Wesley Ariarajah. Injil dan Kebudayaan (Jakarta: Gunung Mulia, 1997), 27.
11Robert J. Schreiner, Rancang Bangun Teologi Lokal (Jakarta: Gunung Mulia, 1996), 83. 
12Robert J. Schreiner, Rancang Bangun Teologi Lokal (Jakarta: Gunung Mulia, 1996), 83.
13H. Richard Neibuhr, Kristus dan Kebudayaan ( Jakarta Pusat: Petra Jaya, tt ), 12-13.

14Robert J. Schreiner, Rancang Bangun Teologi Lokal (Jakarta: Gunung Mulia, 1996), 241.
15Suh Sung Min, Injil dan Penyembahan Nenek Moyang (Yogyakarta: Media Presindo, 2001), 11-12.
16Merill C. Tenney, Survey Perjanjian Baru (Malang: Gandum Mas, 2006), 365.
17LAI, Alkitab (Jakarta: LAI, 2007), 203.
18H. Richard Neibuhr, Kristus dan Kebudayaan ( Jakarta Pusat: Petra Jaya, tt), 55-56.
19LAI, Alkitab (Jakarta: LAI, 2007), 286.
20H. Richard Neibuhr, Kristus dan Kebudayaan ( Jakarta Pusat: Petra Jaya, tt), 56.
21LAI, Alkitab (Jakarta: LAI, 2007), 240.
22H. Richard Neibuhr, Kristus dan Kebudayaan ( Jakarta Pusat: Petra Jaya, tt),64.
23H. Richard Neibuhr, Kristus dan Kebudayaan ( Jakarta Pusat: Petra Jaya, tt),98.
24H. Richard Neibuhr, Kristus dan Kebudayaan ( Jakarta Pusat: Petra Jaya, tt), 95-96.
25Jonar Situmorang, filsafat dalam terang iman Kristen (Yogyakarta: ANDI Offset, 2008), 5.

26Jonar Situmorang, filsafat dalam terang iman Kristen (Yogyakarta: ANDI Offset, 2008).

27Harvie M. Conn, Teologia Kontemporer (Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara, 202), 17.
28H. Richard Neibuhr, Kristus dan Kebudayaan ( Jakarta Pusat: Petra Jaya, tt), 112.
29H. Richard Neibuhr, Kristus dan Kebudayaan ( Jakarta Pusat: Petra Jaya, tt), 114.
30Lothar Schreiner, Adat dan Injil, (Jakarta: gunung Mulia, 2003), 5.
31Stephen Tong, Daosa dan Kebudayaan, (Jakarta: Institud Reeformed, 2004), 67-68.
32H. Richard Neibuhr, Kristus dan Kebudayaan ( Jakarta Pusat: Petra Jaya, tt), 139-140.
33H. Richard Neibhur, Kristus dan Kebudayaan (Jakarta Pusat: Petra Jaya, tt), 171.
34H. Richard Neibhur, Kristus dan Kebudayaan (Jakarta Pusat: Petra Jaya, tt), 172.
35H. Richard Neibhur, Kristus dan Kebudayaan (Jakarta Pusat: Petra Jaya, tt), 174.
36H. Richard Neibhur, Kristus dan Kebudayaan (Jakarta Pusat: Petra Jaya, tt), 175.
37 H. Richard Neibhur, Kristus dan Kebudayaan (Jakarta Pusat: Petra Jaya, tt), 179.
[38]H. Richard Neibuhr, Kristus dan Kebudayaan ( Jakarta Pusat: Petra Jaya, tt), 237.
[39]LAI, Alkitab (Jakarta: LAI, 2007), 233.
[40]Lothar Schreiner, Adat dan Injil, (Jakarta: gunung Mulia, 2003), 5.
[41]H. Richard Neibuhr, Kristus dan Kebudayaan ( Jakarta Pusat: Petra Jaya, tt), 242.
[42]Stephen Tong, Daosa dan Kebudayaan, (Jakarta: Institud Reeformed, 2004), 9.
[43]Larry W. Polland, God and Culture, edt: D. A Carson dan John D. Woodbridge (Surabaya: Momentum, 2011), 311.