Kamis, 01 Mei 2014

STUDI KOMPERATIF TENTANG PEMBERIAN ULOS DAN MANGOKKAL HOLI



BAB IV

STUDI KOMPERATIF TENTANG PEMBERIAN ULOS DAN MANGOKKAL HOLI


                  Dalam masa sekarang ini, banyak orang Batak yang melakukan kegiatan-kegiatan adat yang dahulu dilakukan oleh nenek moyang orang Batak. Orang Batak mayoritasnya adalah orag yang udah peracaya kepad Yesus. Kekristenan sudah sejak lama datang ke tanah Batak, sehingga perkembangan kekristenan di tanah Batak sudah berlangsung dalam jangka waktu yang sudah lama. Pada awal datangnya kekritenen ke tanah Batak, adat-istiadat tidak terlalu dipertenangkan. Pada mulanya, para misionaris yang datang dari Eropa mengkontektualisasikan Injil terhadap adat Batak. Dengan cara mengkontektualiasikan Injil terhadap adat Batak, para miionaris berhail mengkristenkan orang Batak. Pada saat itu, pengetahuan orang Batak tentang Alkitab belum berkembang, sehingga masih menyatukan adat Batak dengan Injil.
                  Dalam keadaan  yang demikian, orang Batak masih aktif dalam melakukan adat Batak dalam kehidupan bermasyarakat. Akan tetapi, pada masa sekarang ini, pengetahuan manusia semakin berkembang. Orang Batak tidak lagi memiliki pandangan atau pengetahuan yang sempit terhadap adat Batak. Dengan adanya perkembangan tersebut, mempengaruhi pandangan dan sikap seseorang terhadap adat Batak itu sendiri. Orang percaya Batak melihat bahwa dalam beberapa praktek adat Batak mengandung penyembahan berhala. Bagi beberapa orang atau kelompok orang Batak, semua praktek adat BAtak itu mengandung penyembahan berhala. Oleh sebab itu timbul suatu kontra antara ikap yang menerima dan yang menolak adat Batak. Dalam media internet, terdapat banyak website atau blog tentang adat Batak yang di dalamnya terdapat perdebatan mengenai adat Batak. Secara khusus, penulis menyoroti bagian adat Batak pemberian Ulos dan mangokkal holi. Ada golongan orang Batak yang menerima adat Mangulosi dan mangokkal holi, dengan alasan bahwa adat tersebut adalah warisan dari nenek moyang yang harus dilestarikan.
Ulos sebagai salah satu warisan budaya Batak, harus terus dikembangkan agar dapat mendunia. Ulos mempunyai keistimewaan tersendiri yang tidak dimiliki kain tenun lainnya. Yakni ulos bukan hanya sekedar produk berbentuk kain tenun melainkan juga mempunyai kedudukan tersendiri di dalam budaya Batak yang dikenal dengan kasih sayang mereka yang hangat.Ulos Batak adalah lambang kasih sayang.1

            Sebagian orang yang tidak mengambil sikap menentang ulos tidak meenganggap bahwa ulos adalah sesuatu yang harus ditinggalkan juka mengikut tuhan. Alasannya adalah menghargai karya orang-orang yang terdahulu. Beberapa orang Batak masih melakukan kegiatan adat Batak mangokkal holi. Tidaak sedikit di daerah Toba yang masih melakukan adat mengokkal holi dalam tujuan membangun Kuburan (dalam istilah Batak tabbak). Sebagian kelompok melakukan kegiatan tersebut dengan melakukan juga upacara seperti yang dahulu dilakukan oleh nenek moyang orang Batak. Hal yang demikianlah yang menyebabkan sebagian kelompok berpendapat dan mengambil sikap menolak adat tersebut. Kelompok tersebut menolak secara keseluruhan ulos Batak dan tidak mau melakukan kegiatan mangokkal holi. Dengan alasan bahwa semua adat Batak adalah kegiatan penyembahan berhala. Henry James dalam bukunya mengatakan bahwa:
Bagian selanjutnya dari tulisan ini akan mengungkapkan bahwa upacara adat Batak pada hakekatnya adalah upacara penyembahan kepada roh sembahan leluhur kita dahulu. Dengan kata lain, upacara adat merupakan penyembahan ilah lain diluar Tuhan Yesus Kristus. Seluruh rangkaian upacara adat itu diilhami dan sarat dengan keyakinan religius sipelebegu leluhur orang Batak.2
            Sebagai seorang yang kontra terhadap adat Batak, Henry menolak untuk melakukan mempraktekkan adat Batak pemberian ulos dan mangokkal holi, bahkan berusaha untuk menghapuskannya/meniadakannya. Saat ini golongan seperti ini berusaha mempengaruhi orang Batak untuk meninggalkan adat Batak dan bahkan meniadakannya. Dengan satu alasan bahwa orang yang mengikut Tuhan Yesus Kristus harus mengikuti Yesus dengan sepenuhnya dan meninggalkan adat. Di sisi lain, ada juga kelompok yang berusaha untuk melestarikan adat Batak dengan catatan memperbaharui adat Batak tersebut. Salah satu tokoh dari kelompok ini berkata bahwa:
Dengan sikap selektif tersebut, kita akan menerima semua praktek dalam adat Batak yang sesuai dengan Injil dan menolak berbagai praktek yang bertentangan dengan Injil. Bukan saja demikian, kita harus secara aktif dan kreatif serta terus menerus membaharui adat Batak tersebut demi kemuliaan Allah dan demi kesejahteraan kita bersama. Sekali lagi kita ulangi sikap yang sangat penting ini: selektif  dan terus menerus memperbaharui adat.3

            Sebagai orang Batak, kelompok yang menerima adat menerima adat dan melakukan praktek adat Batak. Dengan status sebagai orang yang sudah percaya kepada Yesus Kristus, kelompok ini juga menerima adat Batak dan mempraktekkannya dalam kehidupan kekristenannya. Bahkan beberapa orang ingin melestarikan adat Batak tersebut. Namun dengan satu prinsip bahwa makna adat yang dahulu diobah menjadi makna yang baru. Selain mengubah makna tersebut, juga menyeleksi semua adat Batak. Yang dilakukan dan dilestarikan oleh golongan ini adalah yang tidak bertentangan dengan Alkitab. Dalam arti bersifat selektif. Jika terdapat suatu adat yang bertolak belakang dengan Alkitab, maka adat tersebut tidak dilestarikan/diterima sebagai adat yang harus dipertahankan. Beberapa orang dari kelompok yang menerima adat Batak menemukan adat Batak bertentangn dengan Alkitab memberi makna baru kepada adt tersebut. Dengan adanya makna baru adat tersebut diterima sebagai praktek adat yang diprtahankan dan dilakukan.
            Dengan adanya kedua golongan tersebut, muncul suatu permasalahan bagi beberapa orang untuk memilih yang mana harus diikuti. Dua kelompok yang berlatarbelakang yang sama, sebagai orang yang menyebut diri masing-masing ikut Tuhan, memiliki pandangan dan sikap yang berbeda. Perbedaan tersebut menjadi suatu permasalahan yang muncul hingga saat ini.
Berikut adalah salah satu perbincangan yang ada dalam media internet. Terdapat perbedaan pendapat mengenai sikap orang kristen terhadap adat Batak.
Ini lah contoh manusia – manusia yg slalu mencari ksalahan & kekurangan dari orang lain atau komunitas lain. Menurut saya adat itu penting tetapi kita harus lebih mengutamakan agama,baru kita ke adat. orang yg benar 2 beragama dia benar – benar paham & mengerti,,maka dia tidak akan mencari kekurangan,kelemahan,kesalahan dari orang lain atau komunitas lain atau dalam hal ini adat. Akan tetapi dia akan memperbaharui atau memperbaiki akan kekurangan & kelemahan dari orang lain atau adat itu sendiri, bukannya malah mengkritik, dan menganggap dirinya atau kelompok nya yg benar. Menurut saya Kristen yg sejati adalah orang yang tahu membedakan Hubungan Kepada Tuhan & hubungan kepada sesama. “Bagaimana mungkin kamu bisa menjalin hubungan kepada Tuhan,,sedangkan hubungan mu kepada sesama tidak benar”. Untuk itu marilah kita intropeksi diri kita sendiri,,dan yang berpikiran postif.4
            Perbedaan pendapat tidak hanya membuat seseorang bingung dalam memilih salah satu yang mau diikuti. Akan tetapi, sudah menjadi suatu masalah yang membuat suatu pemisah antara orang yang percaya dengan orang yang percaya. Karena kedua pihak tersebut adalah berlatarbelakang orang yang takut Tuhan.

Upacara Pemberian Ulos
            Upacara pemberian Ulos adalah salah satu upacara adat Batak yang hingga sekarang ini dilakukan oleh orang Batak. Tidak ada perbedaan antara orang yang sudah percaya dengan yang belum percaya. Upacara pemberian ulos tidak hanya dilakukan oleh orang-orang yang ada di kampung saja. Akan tetapi, kagiatan adat Batak ini tetaapdilakukan oleh orang-orang Batak yang ada di perantauan. Dalam hal ini, pemberian ulos menjadi suatu problema dalam lingkungan orang Batak. Pada saat ini, upacara pemberian ulos dilihat berdasarkan pandangan orang Batak yang sudah percaya. Orang yang belum percaya kepada Yesus tentu akan menerima sepenuhnya upacara pemberian ulos tanpa ada sikap menolak atau mengubah upacara tersebut.  Namun dari latarbelakang yang sama (orang percaya), terdapat dua sikap yang berbeda terhadap upacara pemberian ulos. sikap tersebut adalah menolak secara keseluruhan upacara pemberian ulos (bagi kelompok yang kontra adat) dan menerima upacara pemberian ulos (bagi kelompok yang pro adat)- dengan catatan memperbaharuinya.  Masing-masing kelompok memiliki alasan untuk mempertahankan sikap yang dilakukannya.
Ulos dikerjakan sepenuhnya dari benang yang diciptakan dari tumbuh-tumbuhan dan pewarna alami. Penenunannya pun dilakukan dengan tangan sehingga memakan waktu yang sangat lama untuk menyelesaikan satu lembar.
Secara tradisional, ruang tenun terletak di kolong rumah-panggung penenun, yang secara tradisonal adalah perempuan. Pada perkembangannya, ulos juga telah diberikan kepada orang non-Batak yang dapat dimaknai sebagai tanda penghormatan kepada si penerima ulos.5

Ulos sebagai salah satu warisan budaya Batak dianggap penting untuk terus dikembangkan agar dapat mendunia. Beberapa orang menyebutkan bahwa ulos diberikan sebagai lambang kasih sayang. Ulos adalah kain tenunan indah dari kebudayaan Batak. ”Secara harafiah, ulos berarti kain selimut. Menurut leluhur Batak, ulos merupakan lambang kasih sayang dan dapat memberikan kehangatan.”6 Ulos diberikan kepada seseorang dengan tujuan memperlihatkan kasih sayang kepada si penerima ulos tersebut.
Bukan hanya orang Batak saja yang bisa menerima ulos, tetapi orang-orang yang memiliki suatu karya dalam lingkungan orang Batak. Jika seorang bukan Batak memberi pengaruh yang baik kepada orang Batak, maka orang tersebut dibari ulos sebagai tanda penghormatan atau ucapan terima kasih. Dalam pemberian ulos tersebut, bisa saja saat kepergiannya dari lingkungan Batak. Terkadang, dalam ibadah diadakan kegiatan pemberian ulos kepada orang luar yang berkunjung ke tanah Batak.
            Bagi kelompok pro adat, ulos diterima dengan alasan bahwa ulos tersebut diberi makna baru.
...., pada masa lalu ulos adalah medium (pengantara) pemberian berkat hula-hula kepada boru. Pada masa sekarang, bagi kita komunitas Kristen-Batak ulos bukan lagi medium, tetapi sekedar sebagai simbol atau tanda doa (permohonan berkat Tuhan) dan kasih hula-hula kepada boru. Dengan atau tanpa memberi ulos, hula-hula dapat berdoa kepada Allah dan Tuhan Yesus Kristus memohon berkat untuk borunya. Ulos adalah simbol doa dan kasih hula-hula kepada boru. Kedudukannya sama dengan simbol-simbol lainnya: bunga, cincin, sapu tangan, tongkat dll.7

            Bagi orang Kristen-Batak (kelompok pro adat) pemberian ulos diterima sebagai adat yang harus dipertahankan dengan memberi makna baru. Karena hal tersebut dianggap mempererat persaudaraan dengan sesama, terlebih dengan keluarga. Ulos dianggap sebagai pemberian kepada orang lain. Dengan memiliki prinsip bahwa ulos tersebut tidak memiliki unsur kegelapan atau penyembahan berhala. Ulos dianggap sama dengan kain tenunan lain (tidak memiliki unsur kuasa gelap) yang dipakai oleh setiap orang pada masa kini. Dilihat dari segi unsur kuasa kegelapan, ulos memiliki keasamaan dengan kain tenunan yang lain yang dipakai setiap hari, tidak memiliki kuasa gelap (dalam bahasa Batak hasipelebeguon). Dengan demikian ulos tidak ada kuasa untuk memberi berkat kepada orang yang diulosi. “..., berbeda dengan pemahaman Parhusip, pelaku adat itu sendiri tidak memahami pemberian ulos itu sebagai sumber berkat.” 8
Dari segi pemakaiannya atau waktu pemakaian, ulos berbeda dengan pakaian sehari-hari. “Ulos mempunyai keistimewaan tersendiri yang tidak dimiliki kain tenun lainnya. Yakni ulos bukan hanya sekedar produk berbentuk kain tenun melainkan juga mempunyai kedudukan tersendiri di dalam budaya Batak yang dikenal dengan kasih sayang mereka yang hangat.”9 Untuk menunjukkan kasihnya kepada orang lain, beberapa orang Batak memberikan ulos sebagai simbol kasih. Jika ada orang yang datang berkunjung dari kota ke kampung, kepada orang tersebut akan diberi ulos sebagai simbol kasih. Bagi kelompok yang pro adat, ulos tidak memiliki kekuatan gelap dan merupakan simbol kasih bagi sesama.
Berbeda dengan pandangan orang yang kontra adat. Ulos adalah karya nenek moyang yang memiliki kuasa gelap di dalam ulos tersebut. Jika dibaca beberapa buku dari kelompok yang menolak adat Batak tersebut, terdapat berbagai penolakan terhadap adat  Batak, secara khusus ulos. Penolakan tersebut bertolak dari pemahamannya yang berbeda terhadap adat Batak. Kelompok ini menolak ulos kaena memandang ulos tersebut sepenuhnya addalah pekerjaan si iblis untuk membodohi orang Batak. Pandangan seperti ini bertolak dari pemahaman terhadap posisi hula-hula sebagai pemberi ulos sekalisgus pemberi berkat. “ Adanya ungkapan “somba marhula-hula” telah diangap menggantikan posisi Allah, karena Allahlah satu-satunya yang layak disembah.”10 Hula-hula dinggap sebagai objek sembahan orang Batak karena adanya ungkapan “somba marhula-hula” dalam adat dalihan natolu. Kata somba dipahami sebagai sikap menyembah kepada hula-hula (si pemberi berkat).
Pada waktu leluhur kita memanggil roh sembahannya, mereka menyerukannya dengan panggilan “Debata” atau “Ompu Mulajadi Nabolon” karena mereka tidak dapat dilihat, maka Mulajadi Nabolonmenetapkan hulahula sebagai wakilnya di dalam menerima persembahan dan memberikan berkat kepada manusia. Sehingga hula-hula disebut dengan “debata na ni ida” Jadi istilah “debata na ni ida” mengacu kepada perwakilan Mulajadi Nabolin di dunia.11

            Dari pandangan ini, hula-hula dianggap sebagai Allah bagi orang Batak. Hemikian hula-hula dianggap sumber berkat bagi mereka yang menerima ulos dari hula-hula. Hula-hula adalah manusia biasa yang sudah jatuh ke dalam dosa, bukan penjelmaan dari roh sembahan leluhur. Sama seperti menolak hula-hula sebagai allah bagi orang Batak, kelompok kontra adat menolak ulos. Ulos dianggap sebagai seseuatu yang harus ditinggalkan bahkan dimusnahkan. Hal ini terbukti dengan adanya orang Batak yang membakar ulos. Salahsatunya adalah paman penulis, membakar semua ulos yang ada di rumahnya.
            Selain dari hal tersebut, kelompok kontra ulos Batak menentang pemberian ulos, misalnya dalam pernikahan, hal itu dianggap salah. Alasannya, karena didalam uls tersebut ada kuasa gelap. Jadi ketika ulos diberikan, itu berarti akan mengikatkan orang tersebut dengan kuasa gelap yang ada di dalam ulos tersebut.
Pemberkatan oleh hulahula dilakukan dengan cara membungkus badan sang boru dengan ulos (mangulosi). Pemberian ulos oleh hulahula ini melambangkan tindakan Batara Guruu yang membungkus roh sang boru dengan sahalanya. Pada alam fisik hulahula membungkus tubuh boru dengan kain ulos, sementara pada alam gaib Batara Guru membungkus roh boru dengan sahalanya. Sehingga kain ulos sering disebut ulos tondi.12
           
            Ulos dianggap sebagai benda yang memiliki kuasa gelap. Oleh sebab itu, setiap orang yang menggunakan ulos dianggap sebagai orang yang telibat dalam kuasa gelap. Dengan demikian menolak secara keseluruhan ulos Batak dan praktek adat Batak.

Maksud Dan Tujuan Pemberian Ulos
            Pemberian ulos adalah salah satu kegiatan adat Batak yang sering dilakukan. Ulos merupakan pakaian adat tradisional bagi orang Batak. Semua orang Batak pasti mengenal kain tenunan ini. Namun maksud dan tujuan sebenarnya pemberian ulos tersebut tidak semua orang mengetahuinya. Pemahaman seseorang akan maksud pemberian ulos tersebut mempengaruhi sikap terhadap ulos. Sikap yang dimaksud adalah menerima ulos atau menolak ulos tersebut. Dalam hal ini adalah bagi orang-orang yang percaya kepada Yesus Kristus. Oleh sebab itu, perlu dipahami makna sebenarnya dari pemberian ulos tersebut. Makna daahu pasti berbeda dengan akna sekarang, sehingga perlu dimengerti pergeseran dari maksud pemberian ulos tersebut. Beberapa pemahaman berikut akan menjelaskan maksud dari pemberian ulos yang sebenaranya.
Secara spesifik pada masa pra-kekeristenan ulos atau tekstil sehari-hari itu dijadikan medium (perantara) pemberian berkat (pasu-pasu) dari mertua kepada menantu/ anak perempuan, kakek/nenek kepada cucu, paman (tulang) kepada bere, raja kepada rakyat. Sambil menyampaikan ulos pihak yang dihormati ini menyampaikan kata-kata berupa berkat (umpasa) dan pesan (tona) untuk menghangatkan jiwa si penerima. Ulos sebagai simbol kehangatan ini bermakna sangat kuat, mengingat kondisi Tanah Batak yang dingin. Dua lagi simbol kehangatan adalah: matahari dan api.12

            Makna sebenarnya dari  pemberian ulos tersebut adalah pada awalnya meruakan simbol kehangatan bagi si penerima ulos. Letak strategis perkampungan orang Batak pada masa dulu adalah di pegunungan. Dengan letak yang seperti ini membuat cuaca terasa dingi. Sehingga ulos yang adalah tenunan pertama dalam masyarakat Batak dipakai sebagai penghangat Tubuh.
Ulos yang panjangnya bisa mencapai kurang lebih dua meter dengan lebar 70 cm (biasanya disambung agar dapat dipergunakan untuk melilit tubuh) ditenun dengan tangan. Waktu menenunnya bisa berminggu-minggu atau berbulan-bulan tergantung tingkat kerumitan motif. Biasanya para perempuan menenun ulos itu di bawah kolong rumah. Sebagaimana kebiasaan jaman dahulu mungkin saja para penenun pra-Kristen memiliki ketentuan khusus menenun yang terkait dengan kepercayaan lama mereka. Itu tidak mengherankan , sebab bukan cuma menenun yang terkait dengan agama asli Batak, namun seluruh even atau kegiatan hidup Batak pada jaman itu. (Yaitu: membangun rumah, membuat perahu, menanam padi, berdagang, memungut rotan, dan kegiatan-kegiatan lain). Karena memang orang Batak pada waktu itu belum mengenal Kristus.
T. M. Sihombing dalam bukunya mengatakan bahwa:
Tolu do sibaen na las di roha ni opputta sijolojolotubu, i ma: mata ni ari, api dohot ulos. Ia mata ni ari ndang apala dipikkiri halak i, ai sandirina do i sai mullop ganup ari. Ia api mura do i nian patupaon alai ndang praktis i pangkeon borngin i lao palashon pamatang, ai ikkon sai jagajagaon do i, hape iba porlu modom. Tung asing do ianggo ulos, ai holan ripa mameakkon do iba tu atas ni pamatang niba, gabe las ma. Ala ni i, ganup hali naeng patupahon silas ni roha ni ianakkonna angka opputtan najolo, sai ulos do dilehon, alani pentingni ulos i tu ngolu siapari. Laos pahean nauli do huhut ulos i sialithononhon laho tu pesta manang laho tu onan ditingki mangebang.13

Terjemahan bebas: Tiga yang membuat senang/hangat nenek moyang kita dahulu, yaitu: matahari, api dan ulos. Kalau matahari tidak terlalu dipikiri orang, sebab dengan sendirinya itu akan muncul tiap hari. Kalau api memeng mudah dibuat tetapi tidak praktis dipakai malam hari untuk menghangatkan badan, karena harus selalu dijaga, padahal kita perlu tidur. Sangat beda kalau ulos, cuman meletakkan saja di atas badan, sehingga hangat. Karena itu, setiap kali ingin menyenangkan hati anak-anaknya para nenek moyang kita dahulu, selalu menggunakan ulos, karena ulos tersebut sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Sekaligus menjadi pakaian indah yang dililitkan ketika mau pergi ke pesta atau pergi ke pasar saat mangebang (kata yang tidak dimengerti peulis).
Kata las dalam kitipan di atas mengandung dua arti, hangat dan senang. Jika tubuh seseorang las (hangat) maka las (senang)lah hatinya. Jadi dari kutipan tersebut dapat dipahami, makna dari pemberian ulos tersebut adalah untuk menyenangkan hati orang lain. Dalam bahasa sekarang dimengerti sebagai ungkapan kasih kepada orang lain. Namun yang memberikan ulos biasanya orang yang lebih muda kepada yang lebih tua. Seiring dengan berkembangnya zaman, keKristenan masuk ke tanah Batak oleh orang Eropa. Banyak orang Eropa yang datang ke Indonesia, secara khusus tanah Batak. Dengan adanya orang Eropa di tanah Batak, maka adat istiadat orang Batak mulai dipengaruhi oleh budaya Eropa.  “Pengkristenan di tanah Batak membawa perubahan besar dalam masyarakat yang tertutup itu. Perubahan itu hanya sebagian disebabkan oleh sifat khas kesaksian para utusan Injil di Eropa; sebagian lagi adalah akibat pengaruh kekristenan sebagai faktor peradapan dan kemasyarakatan.”14
Masuknya Injil melalui para misionaris Jerman penjajahan Belanda harus diakui sedikit-banyak juga membawa pergeseran terhadap makna ulos. Nenek-moyang Batak mulai mengikuti cara berpakaian seperti orang Eropa yaitu laki-laki berkemeja dan bercelana panjang sedangkan  perempuan Batak (walau lebih lambat) mulai mengenal gaun dan rok mengikuti pola berpakaian Barat. Ulos pun secara perlahan-lahan mulai ditinggalkan sebagai kostum atau pakaian sehari-hari kecuali pada kegiatan-kegiatan tertentu. Ketika pengaruh Barat semakin merasuk ke dalam kehidupan Batak, penggunaan ulos sebagai pakaian sehari-hari semakin jarang. Akibatnya Makna ulos sebagai kostum sehari-hari (pakaian) berkurang. Namun,  konsekuensinya ulos (karena jarang dipakai) jadi malah dianggap “keramat”.
Karena lebih banyak disimpan daripada dipergunakan, maka ulos pun mendapat tambahan “magis” atau “keramat”. Sebagian orang pun mulai curiga kepada ulos sementara sebagian lagi menganggapnya benar-benar penyembahan berhala.
Pemberian ulos dulakukan dengan cara membentangkannya di pundak sedemikian rupa sehingga membungkus tubuh boru. Pemberian ulos merupakan simbol pemberian berkat dan perlindungan yang diberikan sahala hulahula kepada roh (tondi) sang boru, agar tondi itu tetap berada dalam keadaan nyaman, hangat, dan kuat.15

            Sebagian orang memandang ulos sebagai kain tenunan khusus yang memiliki kuasa gelap di dalamnya. Ulos dianggap sebagai pemberi berkat bagi orang yang menerimanya. Hal ini dilatarbaelakangi oleh prinsip dalihan natolu. Dalam Dalihan Natolu, terdapat satu istilah Somba Marhula. Sebagian orang mengartikannya, sikap menyembah kepada hulahula. Hula-hula dipahami sebagai Tuhan yang kelihatan. “.. sebagai boru, harus tetap hormat menyembah hula-hula sebagai sumberberkat, bahkan dalam bahasa Batak hula-hula digelari “Debata naniida”, artinya seolah-olah wakil Tuhan untuk menyampaikan berkat.”16 Akibat dari pemahaman hula-hula sebagai Tuhan yang kelihatan, yakni yang memberi ulos, maka ulos dianggap sebagai sarana penerimaanberkat. Dengan kata lain, ulos memiliki unsur kegelapan. Perlu diketahui bahwa makna pemberian ulos berubah sesuai dengan pribadi yang menggunakannya.

Jenis - Jenis Ulos Yang Dipergunakan
            Banyak jenis uloosang dipakai oleh orang Batak. Setiap ulos berbeda nama dan pemakaiannya. Saat pemberian ulos yang berbeda membuat ulos yang dupakai berbeda juga. Setiap ulos yang dipakai oleh orang Batak disesuaikan dengan waktu atau keadaan penggunaannya. Ulos kepada orang yang sedang berduka berbeda dengan ulos kepada orang yang sedang bersukacita. Berikut ini adalah beberapa dari seluruh ulos yang dipakai oleh orang Batak Toba.

1. Ulos Si Tolu Tuho
            Ulos Si Tolu Tuho disebut juga ulos Mangiring. Ulos ini sseng diberikan kepada orang lain sebagai kain gendongan, yang mengharapkan keturunan. Dan anak yang digendong dengan ulos ini diharapkan menjadi banyak. Karena orang Batak mengharapkan hagabeon (memiliki keturunan). Sebab salah satu falsafah orang Batak adalah hagabeon. “Hamoraon, hasangapon dan hagabeon (kekayaan, kemuliaan dan keberhasilan) merupakan dambaan hidup orang Batak secara umum, dan selama hidupnya mereka akan berjuang untuk mendapatkannya.”17 Ulos ini biasanya hanya dipakai sebagai ikat kepala atau selendang wanita.
Ulos ini tidak mempunyai makna adat kecuali bila diberikan kepada seorang anak yang baru lahir sebagai ulos parompa. Jenis ulos ini dapat dipakai sebagai tambahan, yang dalam istilah adat batak dikatakan sebagai ulos panoropi yang diberikan hula-hula kepada boru yang sudah terhitung keluarga jauh. Disebut Sitoluntuho karena raginya/coraknya berjejer tiga, merupakan “tuho” atau “tugal” yang biasanya dipakai untuk melubang tanah guna menanam benih. “Jotjot do tu anak dohot boru na baru marbagas niuloshon “ulos mangiring” on, namarsintahon asa tibu ro hagabeon tu nasida,..”18
            Terjemahan bebas: Sering kepada putra dan putri yang baru ber-rumah tangga diselendangkan “ulos mangiring” ini, yang mengharapkan supaya cepat datang keturunan mereka. Jadi, ulos Si Tolu Tuho diberikan kepada orang yang mengharapkan anak.

2. Ulos Suri Suri
            Biasanya disebut saja ulos Suri-suri, berhubung coraknya berbentuk sisir memanjang. Ada keistimewaan ulos ini yaitu: rambunya tidak dipotong, jadi dibiarakan tetap bersambung. Sehingga ulos tersebut seperti kain sarung,  harus di sarungkan pada saat memakai. “Dahulu ulos ini diperguakan sebagai ampe-ampe/hande-hande. Pada waktu margondang (memukul gendang) ulos ini dipakai hula-hula menyambut pihak anak boru. Ulos ini juga dapat diberikan sebagai “ulos tondi” kepada pengantin. Ulos ini sering juga dipakai kaum wanita sebagai sabe-sabe.”19 Ada keistimewaan ulos ini yaitu karena panjangnya melebihi ulos biasa. Bila dipakai sebagai ampe-ampe bisa mencapai dua kali lilit pada bahu kiri dan kanan sehingga kelihatan sipemakai layaknya memakai dua ulos. Ada dua kelebihan ulos ini. Yang pertama adalah sebagai pakaian, karena mudah untuk dikenakan. Yang kedua adalah, sebagai kain gendongan supaya anak yang digendong tidak jatuh.


3. Ulos Rujjat
            Ulos ini biasanya dipakai oleh orang kaya atau orang terpandang sebagai ulos “edang-edang” (dipakai pada waktu pergi ke undangan). Ulos ini dapat juga diberikan kepada pengantin oleh keluarga dekat menurut versi (tohonan) Dalihan Natolu diluar hasuhutan bolon, misalnya oleh Tulang (paman), pariban (kakak pengantin perempuan yang sudah kawin), dan pamarai (pakcik pengantin perempuan). Ulos ini juga dapat diberikan pada waktu “mangupa-upa” dalam acara pesta gembira (ulaon silas ni roha).

4. Ulos Ragidup
            Ulos ini adalah ulos yang paling rumit ditenun, sehingga harganya pun lebih tinggi dari ulos yang lain. Jika diperhatikan motif dan  penampilan ulos tersebut, seolah-olah hidup. Itu sebabnya ulos tersebut dinamai ragidup dan ada orang menyebutnya sebagai simbol kehidupan. Hidup seseorang sangat berharga bagi orang Batak. Pada umumnya orang Batak menginginkan hidup yang lama (umur panjang) sehingga tingkat kematian dengan bunuh diri sedikit. Itu sebabnya orang Batak tidak takut hidup walaupun miskin.
Pembuatan ulos ini berbeda dengan pembuatan ulos lain, sebab ulos ini dapat dikerjakan secara gotong royong. Dengan kata lain, dikerjakan secara terpisah dengan orang yang berbeda. Kedua sisi ulos kiri dan kanan (ambi) dikerjakan oleh dua orang. Kepala ulos atas bawah (tinorpa) dikerjakan oleh dua orang pula, sedangkan bagian tengah atau badan ulos (tor) dikerjakan satu orang. Sehingga seluruhnya dikerjakan lima orang. Kemudian hasil kerja ke lima orang ini disatukan (diihot) menjadi satu kesatuan yang disebut ulos “Ragi Hidup”. Mengapa harus dikerjakan cara demikian? Mengerjakan ulos ini harus selesai dalam waktu tertentu menurut “hatiha” Batak (kalender Batak). Bila dimulai Artia (hari pertama) selesai di Tula (hari tengah dua puluh). ...20
Karena ulos ini sulit ditenun, ulos ini memiliki hrga yang tinggi dibanding dengan ulos-ulos lain.

5. Ulos Sadum
            Los ini adalah ulos yang memiliki corak yang indah. Saat ini banyak orang batak yang menggunakan ulos sadum sebagai hadiah kenang-kenangan bagi orang lain. Ulos sadum juga sering dipakai sebagai hiasan di rumah.
Ulos ini penuh dengan warna warni yang ceria hingga sangat cocok dipakai untuk suasana suka cita. Di Tapanuli Selatan ulos ini biasanya dipakai sebagai panjangki/parompa (gendongan) bagi keturunan Daulat Baginda atau Mangaraja. Untuk mengundang (marontang) raja raja, ulos ini dipakai sebagai alas sirih diatas piring besar (pinggan godang burangir/harunduk panyurduan). Aturan pemakaian ulos ini demikian ketat hingga ada golongan tertentu di Tapanuli Selatan dilarang memakai ulos ini. Begitu indahnya ulos ini sehingga didaerah lain sering dipakai sebagai ulos kenang-kenangan dan bahkan dibuat pula sebagai hiasan dinding. Ulos ini sering pula diberi sebagai kenang kenangan kepada pejabat pejabat yang berkunjung ke daerah.21

Pada awalnya, ulos sadum dipakai pada saat menyambut atau memanggil raja (orang yang berdaulat). Namun, pada masa sekarang cenderung dipakai sebagai pemberian karena memiliki keindahan tersendiri.
6. Ulos Bintang Maratur
            Ulos ini sering disebut ulos wanita kebenaran oleh nenek moyang pada zaman dahulu. Ulos ini disebut maratur, karena dalam pemakaiannya memiliki aturan-aturan. Jika ulos ini diberikan (diuloskan) kepada pengantin, maka akan diselipkan kata-kata: ”Ia ulos on bintang maratur do. Asa, sai anggiat ma diatur jala dilehon Amanta Debata Parasi Roha i hamu hagabeon dohot passamotan, asa ro nian akkai di tingki na lehet, di ombas na denggan jala mambahen tua di hamu.”22
            Terjemahan bebas: Ulos ini adalah bintang maratur. Supaya selalu diatur dan dibri oleh Allah Bapa Yang Maha Kasih kepada kalian keturunan dan pencaharian, supaya semuanya itu datang pada waktu  yang tepat, pada saat yang baik serta memberi umur panjang bagi anda. Itu lah yang akan disebutkan ketika memberikan ulos tersebut kepada orang yang sedang menikah. Berbeda ketika dipakai sebagai kain untuk menggendong anak, akan diselipkan kata-kata: “Ia ulos on bintang maratur do. Asa, sai anggiat ma diparbisuhi Amanta Debata Parasi Roha i hamu manogu-nogu jala mangatur dakdanak on dohot akka tinodohonna nanaeng ro dope.”23
            Terjemahan bebas: Kalau ulos ini, bintang maratur nya. Supaya, semoga lah diberkati oleh Bapa Allah Maha Pengasih itu kalian  menuntun serta mengatur anak ini serta adik-adik nya yang akan lahir nanti. Masing-masing pemakaian memiliki peraturan yang berbeda.

7. Ulos Ragi Hotang
            Ulos ini salah satu ulos yang paling banyak digunakan orang Batak hingga saat ini. Karena ulos ini cocok diselendangkan pada saat pemberian ulos dalam pernikahan. Di samping itu juga memiliki penampilan yang indah. Ada banyak patun (umpasa) yang sangat cocok diungkapkan ketika memberikan (manguloshon) ulos tersebut. Salah satu contoh umpasa adalah:
”Hotang do bahen hirang, laho mandurung pora-pora
Sai dao ma sian hamu na sirang, alai lam balga ma holong ni roha”24
            Terjemahan bebas:
Rotan nya dibuat jadi keranjang, untuk menjaring ikan
Semoga lah jauh dari kalian perceraian, tetapi biarlah kasih semakin besar.
Kata-kata seperti ini disisipkan atau diucapkan ketika seseorang memberikan ulos Ragi Hotang kepada yang menikah.
            Dari semua ulos Batak yang ada, terdapat tiga jenis menurut penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari. Pertama: Siabithononhon (dipakaikan): Ragidup, Sibolang, Runjat, Simarinjamisi, Ragi Pangko. Kedua: Sihadanghononhon (disarungkan): Sirara, Sumbat, Boleati, Mangiring, Surisuri, Sadum. Ketiga: Sitalitalihononhon (diikatkan): Tumtuman, Mangiring, Padang Ursa. Namun masih banyak lagi ulos yang munmgkin jarang dipakai dalam kategori di atas.

Pemberi dan Penerima Ulos
            Mangulosi (memberi ulos) merupakan satu bagian yang sangat penting dalam adat Batak. Penggunaan dari ulos pada zaman dahulu sangat sederhana. Pada umumnya ulos diberikan oleh orang tua kepada anak-anaknya untuk menghangatkan tubuh. Berhubung karena letak perkampungan orang Batak dahulu adalah di pegunungan, jauh dari permukaan laut (sea level) serta dikelilingi oleh bambu. Oleh sebab itu, keadaannya dingin dan membutuhkan penghangat badan. Jadi, pada saat itu para orang tua atau keluarga yang berkunjung membawa ulos sebagai pemberian yang menyenangkan hati anak-anak (keturunannya). Praktek seperti ini masih dilakukan oleh orang Batak yang ada di kampun. Setiap seorang bayi lahir, maka paman sang bayi (hulahula orang tuanya) akan datang dengan membawa ulos, yang berfungsi sebagai gendongan. Namun praktetk yang demikian sudah jarang ditemui pada saat ini, karena jaman semakin berkembang. Pemberi dan penerima ulos pun sudah berbeda sekarang ini.
Dalam Batak ulos adalah simbol pemberian dari pihak yang dianggap lebih tinggi kepada pihak yang dianggap lebih rendah.
Namun keadaan kadang membingungkan. Ulos diberikan juga justru kepada orang yang dianggap pemimpin atau sangat dihormati. Dalam kultur Batak padahal ulos tidak pernah datang dari “bawah”. Lantas mengapa kita kadang memberi ulos kepada pejabat yang justru kita junjung, atau kepada pemimpin gereja yang sangat kita hormati? Bukankah merekalah yang seharusnya memberi ulos (mangulosi)? Kebiasaan memberi ulos kepada Kepala Negara atau Eforus (pimpinan gereja) selain mereduksi makna ulos juga sebenarnya merendahkan posisi kepala negara dan pemimpin gereja itu.25

            Dalam masyarakat Batak sekarang ini, pemberi dan penerima ulos tidak harus persis seperti yang dahulu. Hal ini mungkin karena dipengaruhi oleh Injil. Kadang kala orang yang memberi ulos lebih muda dari yang menerima ulos atau yang ang menerima ulos lebih terhormat dari yang memberi ulos. Hal ini bisa terjadi karena pergeseran makna ulos tersebut. Ulos dianggap sebagai pemberian yang menyenangkan  kepada orang lain sebagai ungkapan kasih.
            Di sisi lain, pemberi ulos dalam pesta pernikahan orang Batak memiliki perbedaan. Pada saat seorang pria Batak menikah, maka pria tersebut akan menerima ulos dari hulahulanya (pihak keluarga calon istri). Pesta  prnikahan orang Batak dilaksanakan dengan berpedoman kepada sistem adat Dalihan Na Tolu. “...DALIHAN NA TOLU. Arti kata ini secara harafiah ialah “tungku nan tiga”, yang merupakan lambang jika diasosiasikan dengan sistem sosial Batak yang juga mempunyai tiga penopang, yaitu DONGAN SABUTUHA, BORU dan HULA-HULA.”26
Posisi hula-hula adalah posisi yang dihormati oleh orang-orang Batak. Itu sebabnya orang Batak sangat menghormati pihak istrinya. Makna lain dari hula-hula bagi orang Batak adalah sebagai pihak pemberi berkat (perlu diketahui bahwa makna pemberian ulos tersebut sudah mengalami banyak pergeseran). Henry James berkata dalam bukunya: “pada waktu seorang hulahula memberkati borunya, maka dia sedang menjadi wakil dari Batara Guru untuk memberkati, melalui ulos, dengke, dan Hata pasupasu yang diucapkannya.”27
Karena setiap orang Batak menduduki status hulahula terhadap pihak yang menikahi anak perempuannya, maka setiap orang juga menjadi wakil dari Batara Guru dalam menerima persembahan dan memberikan berkat kepada borunya. Karena itu, setiap orang Kristen yang masih terlibat dalam aktivitas adat juga telah menjadikan dirinya sebagai wakil dari roh sembahan leluhur, yaitu wakil dari Batara Guru, wakil dari Mulajadai Nabolon. Dengan makna baru yang demikian, Henry James dalam bukunya membari kesimpulan dalam bukunya: “Jadi, upacara adat Batak merupakan bentuk ibadah dalam agama Batak yang ditujukan kepada penyembahan Debata Mulajadi Nabolon28 Pergeseran makna pemberian ulos tergantung kepada orang yang memberi makna tersebut.

Waktu Pemberian Ulos
            Dalam setiap adat Batak, pemberian ulos ini tidak selalu sama. Ulos yang dipakai tergantung kepada waktu atau acara yang dilakukan. Beberapa saat atau adat yang melaksanakan pemberian ulos. Ulos itu berharga karena waktu, even atau momen pemberiannya sangat penting bagi orang Batak. Ulos itu mengingatkan seseorang kepada saat-saat khusus dalam hidupny saat ulos itu diberikan: kelahiran, pernikahan, memasuki rumah dll. Apapun pemberian tanda yang mengingatkan seseorang kepada saat-saat khusus itu (ulos atau bukan ulos) tentu saja berharga bagi orang tersebut. Salah satu even yang paling bersejarah atau yang paling dikenang oleh semua orang, secara khsus yang sudah berkeluaraga. Karena pengaruh kekristenan, pernikahan ini sangat berharga karena hanya sekali saja menikah seumur hidup. Pada umumnya, tingkat perceraian atau poligami dalam kalangan orang Batak sangat sedikit. Hal ini disebabkan oleh Kekristenan deterima di tanah batak. Alkitab mengajarkan supaya tidak memiliki istri lebih dari satu. “Dan jikalau ia bercerai, ia harus tetap hidup tanpa suami atau berdamai dengan suaminya. Dan seorang suami tidak boleh menceraikan isterinya.”(1 Korintus 7:11).
            Pemberian ulos dilakukan pada saat pernikahan. Pernikahan orang Batak-kristen berlangsung dengan dua acara, yaitu acara pemberkatan di gereja dan acara adat di rumah pengantin.
Sinkretisme orang Kristen Batak dapat kita lihat di dalam pelaksanaan perkawinan. Perkawinan orang Kristen Batak dilakukan dengan dua jenis upacara: upacara kegerejaan yang biasanya dilanjutkan dengan upacara agama Batak. Pelaksanaan kedua upacara tersebut merupakan suatu keharusan, sekalipun tidak ada hukum formal maupun Firman Tuhan yang memerintahkannya.29

Di gedung gereja, orang Batak melakukan upacara kekristenan, sedangkan di luar gedung gereja mereka melakukan upacara agama leluhur. Dalam acara pernikahan adat selalu menggunakan ulos Batak.
...acara yang banyak memakan waktu, yaitu pemberian ulos herbang, yaitu kain ulos. Cara memberikannya ialah melilitkan selembar kain ulos ke tubuh dua insan suami isteri yang sedang duduk berdampingan, setelah mengucapkan kata pengantar yang sesuai untuk itu; isinya ialah permohonan doa kepada Tuhan Yang Mahaesa agar memberkati yang sedang diulosi itu.30

            Banyak jenis yulos yang dipakai dalam pesta pernikahan adat Batak. Namun yang jelas ulos lebih sering dipakai dalam acara pernikahan adat Batak. Terkadang ulos yang dipakai memiliki harga yang mahal. Ketika seseorang selesai melakukan pesta pernikahan, maka keluarga tersebut akan merasa sangat senang. ”Anehnya, dengan acara adat itulah kebanyakan orang Batak merasa menemukan harga dirinya, memperoleh rasa hormat dari para kerabat dan kepuasan sejati.”31 beberapa orang Batak memberi serta memakai ulos yang mahal dalam pernikahan dengan tujuan memegahkan diri.
            Selain pada saat pernikahan, ulos juga dipakai pada saat pembabtisan seorang anak. Acara pembabtisan anak dikenal setelah kekristenan. Acara yang lazim dilakukan sebelum kekristenan adalah Martutuaek.
..martutuaek, yakni pemandian sang bayi ke mataair. Pada hari yang ditentukan oleh dukun, pagi-pagi pada waktu matahari baru terbit, sang ibu yang menggendong anaknya beserta rombongan para kerabat menuju ke suatu mataair dekat kampung mereka itu.setelah sampai di sana, bayi tersebut dibaringkan telanjang bulat di atas selembar kain ulos. Muncullah seorang dukun (datu) menceduk air lalu menuangkannya ke tubuh si anak, ...32

            Kegiatan martutuaek dilakukan di bona pasogit pada zaman animisme. Namun sekarang kegiata martutuaek diganti dengan babtis (tardidi) di gereja. Setelah selesai baptisan, diadakan acara pemberian ulos.
Kepada orang tua si anak yang dibabtis itu diberi oleh petugas gereja sehelai SURAT BABTIS, yaitu sebagai bukti bahwa sianak beragama Kristen. Setelah upacara agama tadi dilangsungkan lagi upacara adat di rumah orang tuanya..... Kepada para hadirin diberikan pula kesempatan menyampaikan ulos parompa (baca: ulos paroppa).33

            Hingga saat ini acara pemberian ulos pada saat kelahiran bayi masih dilakukan sebagaian orang Batak yang ada di bona pasogit.
            Beberapa kegiatan yang melibatkan pemberian ulos dalam adat banyak masih banyak lagi. Seperti pada saat melawat ke rumah orang yang sedang berduka, pada waktu seorang kehilangan suami atau isteri (mabalu), pada saat kedatangan tamu yang dihormati, dan lain sebagainya. Namun yang paling sering adalah pada saat pernikahan, kematian dan kedatangan tamu.

Pandangan Terhadap Pemberian Ulos
                  Pertanyaan yang muncul dari kalangan orang Batak Kristen sekarang adalah, apakah orang Kristen diperbolehkan memakai ulos atau tidak. Untuk menjawab pertanyaan ini, sebagai orang Kristen haruslah berdasarkan kepada Alkitab. Pandangan yang berbeda terhadap sesuatu benda membuat sikap yang berbeda akan benda tersebut. Seperti contoh, bangsa Israel menganggap patung emas adalah Allah, sehingga bangsa Israel menyembah kepada patung emas tersebut.
Lalu seluruh bangsa itu menanggalkan anting-anting emas yang ada pada telinga mereka dan membawanya kepada Harun. Diterimanyalah itu dari tangan mereka, dibentuknya dengan pahat, dan dibuatnyalah dari padanya anak lembu tuangan. Kemudian berkatalah mereka: “Hai Israel, inilah Allahmu, yang telah menuntun engkau keluar dari tanah Mesir!”34

            Bangsa Israel membuat suatu patung yang terbuat dari emas. Ketika emas dipakai sebagai anting, bangsa Israel tidak memandangnya sebagai Allah. Tetapi ketika emas dijadikan sebagai patung anak lembu emas, emas dianggap sebagai Allah yang memiliki kuasa. Sehingga bangsa tersebut percaya bahwa emas itulah yang menuntun membawa keluar dari Mesir. Demikian halnya dengan ulos. Dari hasil kuisioner yang diperoleh, ulos dinilai tidak memiliki kausa gelap sehingga tidak masalah untuk dipakai. Orang Kristen boleh memakai ulos, sebab ulos dianggap tidak berbeda dengan kain yang lain, tidak memilikiunsur kegelapan atau penyembahan berhala. Kesimpulan ini diperoleh melalui kuisioner dari jemaat yang berada dalam gereja yang pro adat dan yang kontra adat.
                  Manurut hasil wawancara yang diperoleh dari gereja yang pro adat, ulos boleh dipakai jika dilihat dari konteks budaya. Konteks budaya ini dilihat dari partisipasi Yesus dalam pesta di kanaan.
Pada hari ketiga ada perkawinan di Kana yang di Galilea, dan ibu Yesus ada di situ;Yesus dan murid-murid-Nya diundang juga ke perkawinan itu. Ketika mereka kekurangan anggur, ibu Yesus berkata kepada-Nya: "Mereka kehabisan anggur." Kata Yesus kepadanya: "Mau apakah engkau dari pada-Ku, ibu? Saat-Ku belum tiba." Tetapi ibu Yesus berkata kepada pelayan-pelayan: "Apa yang dikatakan kepadamu, buatlah itu!" (Yohanes 2:1-5)[35]

                  Yesus dan murid-murid-Nya ikut dalam pesta perkawinan di Kanaan. Hal ini juga sebagai bukti bahwa Yesus dan murid-muridNya ikut dalam budaya tempat tinggalNya. Suatu kebiasaan adat-istiadat dalam pesta perkawinan orang Yahudi menyediakan anggur. Demikian juga pemberian ulos, orang Kristen bisa melakukannya sebagai kebudayaan.
                  Di sisi lain kelompok yang kontra adat menganggap pemberian ulos bertentangan dengan Alkitab. Penolakan ini didasarkan pada nats Alkitab:
Jawab-Nya kepada mereka: "Benarlah nubuat Yesaya tentang kamu, hai orang-orang munafik! Sebab ada tertulis: Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku. Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia. Perintah Allah kamu abaikan untuk berpegang pada adat istiadat manusia." Yesus berkata pula kepada mereka: "Sungguh pandai kamu mengesampingkan perintah Allah, supaya kamu dapat memelihara adat istiadatmu sendiri. (Markus 7:6-9) [36]

                  Pemberian ulos adalah adat istiadat nenek moyang yang diturunkan turun temurun. Orang Kristen yang mengikut Yesus tidak diperbolehkan untuk melakukan adat-istiadat nenek moyang. Bagi kelompok yang kontra adat, orang yang masih melakukan adat istiadat tidak layak mengikut Tuhan. Harus meninggalkan adat-istiadat nenek moyang. Jadi, bagi kelompok ini ulos tidak diperbolehkan untuk dipakai oleh orang percaya. Namun, dalam kuisioner yang diadakan oleh penulis (gereja yang kontra adat dan yang pro adat), ternyata lebih banyak yang tidak setuju jika ulos tersebut dimusnahkan.
                  Jadi, dari kedua pandangan tersebut penulis ingin melihatnya dari segi Alkitab. Satu hal yang perlu diketahui adalah, manusia sebagai mahluk sosial memiliki kebuadayaan (adat istiadat) tertentu. Oleh sebab itu, setiap penulisan Alkitab seringkali dihubungkan dengan adat istiadat orang Yahudi, sebab para penulis kitab tersebut adalah orang-orang Yahudi dan tinggal di lingkungan orang Yahudi.
      Berdasarkan pengamatan kita dari cara atau metode yang dipakai oleh Yesus itu maka jelaslah bagi kita bahwa untuk memudahkan pengertian anggota jemaat tentang isi Alkitab itu kita harus mampu mengangkat pengalaman hidup manusia dan memperhadapkannya kepada terang Firman Tuhan.[37]

                  Perkawinan di Kanaan adalah tempat Yesus melakukan mujizat pertama air menjadi anggur. ”Ada sedikit penjelasan tentang hubungan Tuhan kita dengan ibu-Nya dan sikap-Nya terhadap kehidupan sosial (bdg. Mat 11:19). Pengubahan air menjadi anggur dicatat sebagai mujizat pertama-Nya.”[38] Yesus mengambil sikap yang baik terhadap adat istiadat orang Yahudi. Yesus mengubah air menjadi anggur. Anggur biasanya dipakai oleh orang Yahudi dalam berbagai perayaan dan juga peribadahan. ”Di PL anggur dihubungkan dengan pesta dan acara-acara gembira dan juga dengan acara perjanjian.”[39] Yesus terlibat dalam kebudayaan bangsa Yahudi,tempat Yesus dilahirkan dan dibesarkan.
                  Dalam kitab Markus 7:6-9, Yesus menentang orang-orang Farisi yang lebih menekankan adat-istiadat nenek moyang daripada Firman Allah. Bukan karena mereka melakukan adat-istiadat. Membasuh tangan sebelum makan adalah adat istiadat yang sangat baik. Bahkan di semua negara pun hal ini sudah menjadi kebiasaan. Namun, Orang Farisi menganggapnya lebih utama dari pada Firman Allah. Hal inilah yang dilihat oleh Yesus sehingga menegur orang Farisi.
      Tujuan utama dari pengutipan dari Yesaya itu berkenaan dengan penggantian perintah Allah dengan adat istiadat manusia. Ini bukan suatu pernyataan yang berlebihan, sebab orang Farisi menganggap tradisi lisan sebagai lebih memiliki kuasa daripada hukum yang tertulis di dalam Perjanjian Lama.[40]

                  Kebiasaan mencuci tangan adalah suatu adat istiadat nenek moyang bangsa Yahudi pada saat itu. ”Adat istiadat nenek moyang ialah sekumpulan perintah dan ajaran tidak tertulis dari para nabi yang terkenal pada masa lalu, kumpulan 613 peraturan yang dirancang sebagai pedoman bagi setiap aspek kehidupan”[41] Bangsa Yahudi memnganggap adat isatiadat nenek moyang lebih utama dari segala sesuatu. Itu sebabnya Yesus berkata: ”Percuma mereka beribadah kepadaKu, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah ajaran manusia” (Markus 7:7). Dalam buknya, Donald menulis: ”Ayat-ayat ini mencatat pertengkaran antara Kristus dengan orang-orang Farisi mengenai masalah dasar yaitu sumber otoritas. Apakah adat istiadat mengandung otoritas ilahi? Adakah adat istiadat sejajar, atau lebih tinggi dari Firman Allah yang tertulis?”[42]
                  Ada suatu penekanan yang diberikan oleh Yesus kepada bangsa Yahudi. Dengan mengutip dari kitab Yesaya, Yesus menekankan supaya bangsa Yahudi tidak lebih mengutamakan ajaran nenek moyang daripada Firman Allah. Yesus tidak menekankan bahwa adat istiadat mencuci tangan sebelum makan harus dihapuskan atau ditinggalkan, namun jangan mengutamakannya dari Firman Allah. Adat istiadat dalam kitab ini mencakup semua aspek kehidupan orang Yahudi. Ajaaran turun temurun yang dipakai di sini berasal dari bahas Yunani ”paradosis artinya, ajaran turun-temurun, adat istiadat, dan ajaran.”[43] jadi, adat istiadat yang dimaksud di sini adalah mencakup semua aspek kehidupan yang diajarkan turun temurun.

Upacara Mangokkal Holi
                  Ada tiga hal yang menjadi falsafah orang Batak.  Hamoraon (kekayaan), hagabeon (banyak keturunan/anak), dan hasangapon (kehormatan di mata masyarakat) adalah tiga hal yang selalu dicari oleh masyarakat Batak dalam falsafah hidupnya. Ketiga hal tersebut dipercaya dapat diberikan oleh roh para nenek moyang. Karena itu, orang Batak sangat menghormati orangtua, percaya berkat yang diberikan para nenek moyang akan menjadi sangat menentukan di dalam hidup. Oleh sebab itu, bentuk penghormatan tersebut dilakukan terhadap orang tua yang sudah meninggal sekalipun. Orang tua atau nenek moyang yang sudah meninggal dianggap masih ada dan memiliki kuasa untuk memberkati.
      Salah satu dari acara adat yang dilakukan dalam rangka menghormati arwah para leluhur dan masih dilakukan sampai sekarang adalah tradisi mangongkal holi. Mangongkal holi adalah upacara adat menggali tulang-tulang orangtua (leluhur) yang sudah meninggal dan memindahkannya ke tempat peristirahatan mereka yang lebih baik.[44]
                  Setiap orang Batak sangat menghormati orang tuanya. Oleh sebab itu, penghormatan itu dilakukan pada waktu hidup juga sampai meninggal. Mangokkal holi (menggali tulang) adalah upacara yang dilakukan oleh nenek moyang pada saat ingin membangun sebuah kuburan besar. Pada umumnya kuburan ini dibangun satu di sebuah desa. Kuburan yang dibangun satu dalam sebuah desa karena dalam satu desa terdapat satu keturunan. Jadi, beberapa keturunan dapat berjiarah ke kuburan besar tersebut. Pada umumnya pada waktu memperingati hari kebangkitan Yesus Kristus, orang Batak pergi berjiarah ke kuburan tersebut. “Kebiasaan ini paling banyak dilakukan kala menjelang hari paskah dan berpuncak pada hari kebangkitan Tuhan Yesus Kristus. Pada hari minggu subuh peringatan kebangkitan Yesus, banyak orang Kristen yang melakukan kebaktian di lokasi perkuburan.” Beberapa keturunan akan datang bersama-sama untuk membersihkan kuburan nenek moyang tersebut. Mangokkal holi terutama dilakukan untuk menghormati leluhur. Akibat rasa menghormati tidak jarang di daerah Tapanuli, kita menjumpai terkadang kuburan atau Tugu lebih diutamakan dari pada kondisi rumah untuk tempat tinggal. Tidak jarang dijumpai kuburan yang besar-besar dan megah di daerah Toba Samosir. Di sepanjang jalan terdapat kuburan-kuburan yang megah. Pada hal belum tentu rumah keturunan yang ada dalam kubura tersebut layak huni. Hal ini lah yang menjadi masalah bagi banyak orang Batak, terlebih bagi orang yang sudah percaya.

Maksud Dan Tujuan Mangokkal Holi
                  Diterima atau ditolaknya kegiatan mangokkal holi di kalangan orang Batak-Kristen tergantung kepada motivasi atau maksud dari pelaksanaan upacara tersebut. Oleh sebab itu, sangat perlu dimengerti maksud dan tujuan sebenarnya dari mangokkal holi tersebut. Mangokkal holi dimengerti sebagai menggali tulang-tulang nenek moyang untuk dipindahkan ke suatu tempat yang disebut tambak (dibaca: tabbak). Tambak adalah suatu kuburan yang besar, pada umumnya banyak orang yang dimakamkan di dalamnya. “Kuburan tanah yang sementara dibuka, sesudah lewat waktu pembusukan yang dianggap perlu, lalu mengangkat tulang-tulang dari dalamnya dan menempatkannya dalam suatu kuburan semen dengan mengadakan upacara tertentu.”[45]
                  Jadi mangokkal holi adalah suatu kegiatan menggali tulang belulang nenek moyang dari suatu tempat ke kampung halaman. Pada umumnya dari perantauan akan digali tulang belulang nenek moyang untuk dibawa ke kampung halaman, sebagai tanda bahwa orang tersebut berasal dari kampung itu. Sebelum mengenal kekristenan, upacara tersebut dilakukan secara adat tradisional, yaitu dengan mengadakan pemujaan kepada roh nenek moyang yang diiringi dengan gondang.
Tulang-tulang para bapa leluhur yang dipilih untuk dipindahlan itu dimakamkan kembali di dalam kuburan semen atau di ruang suatu patung nenek moyang. Pemindahan itu dilaksanakan dengan upacara perayaan yang besar. Upacara ini disebut pesta-turun. Pesta ini ialah perayaan yang paling terhormat dan palingbanyak makan biaya.[46]

                        Tulang-tulang bapa leluhur tersebut akan ditempatkan dalam suatu bangunan dari semen supaya tahan lama, sebagai tanda menghormati bapa leluhur.
            Jika dilihat dari segi tujuan mangokkal holi, seseorang akan memilih sendiri untuk melakukannya atau tidak. Sangat penting bagi seorang Batak mengetahui tujuan dari pelaksanaan mangokkal holi tersebut. 
      Bagi orang Batak, hormat kepada kedua orang tua bahkan terhadap sahala ni akka da oppung yang terdahulu yang telah meninggal sangatlah di nomor satu-kan, ini di wujudkan untuk melaksanakan Titah atau perintah Tuhan yang ke lima yaitu Ingkon pasangapon natua-tua termasuk ma i angka Sahala ni da oppung.[47]

                  Tujuan orang Batak-Kristen melakukan adat batak adalah untuk menghormati orang tua (dalam Alkitab: Ayah dan Ibu). ”Tujuan dari mangongkal holi adalah menghormati orang tua , dan yang disebut orang tua bukan saja bapa atau ibu, melainkan sampai kepada nenek moyang.”[48]
                  Hal ini dianggap sebagai bentuk penghormatan terhadap orang tua supaya mendapat berkat. Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu (Keluaran 20:12). Di samping itu, sebagian orang melaksanakan kegiatan mangokkal holi dengan alasan menjaga tradisi nenek moyang. ”.., dari responden yang masuk (semua yang sudah menjadi Kristen) ada 62%yang masih melakukan upacara-upacara penyembahan nenek moyang, misalnya penggalian tulang-belulang, meskipun 51% yang melakukannya mengaku hanya untuk menjaga tradisi suku saja.”[49]
Jadi, kegiatan tersebut dianggap sebagai tradisi. Tujuannya adalah melestarikan tradisi nenek moyang. Namun, pada jaman dahulu tradisi ini dilakukan dengan upacara penyembahan berhala. Pada masa sekarang orang Batak-Kristen menganggapnya hanya sebagai tradisi, tidak mengandung unsur lain.
                  Disisi lain, kegiatan mangokkal holi dilakukan dengan maksud mengharapkan berkat dari bapa leluhur. “Lalu urutan yang kedua, bermotifkan berkat dari para leluhur.”[50] Bagi orang Batak zaman dahulu, orang tua yang sudah meninggal dianggap memiliki roh yang mampu memberi berkat bagi orang yang masih hidup. Oleh sebab itu, orang Batak memohon berkat pada saat kegiatan mangokkal holi dan pemindahannya berlangsung.

Latar Belakang Mangokkal Holi
                  Mangokkal holi adalah suatu adat yang masih dilakukan oleh sebagian orang Batak hingga saat ini. Hadirnya tradisi ini pada awalnya adalah penyembahan kepada nenek moyang. Latar belakang yang sebenarnya dari mangokkal holi tidak bisa disebutkan, karena tidak bisa dipastikan kapan mulainya dan oleh siapa yang memulai. Berbagai pandangan yang menyebutkan tentang latarbelakangnya. Latar belakang yang dimaksud adalah motivasi yang mendorong untuk melakukan upacara tersebut. Menurut Suh Sung Min, “Melalui penggalian tulang-belulang, orang Batak mengharapkan kehidupan yang lebih baik.”[51] Orang tua yang sudah meninggal dianggap memiliki roh yang bisa memberi berkat kepada keturunannya. Roh tersebut harus dihormati oleh orang Batak yang masih hidup. Caranya adalah dengan memindahkan tulang-tulang orang yang sudah meninggal ke dalam suatu kuburan atau tugu yang sangat megah. Kuburan atau tugu tersebut dibangun seindah mungkin. Pembangunan kuburan dan tugu ini memakan biaya yang sangat banyak dan menghabiskan waktu bisa sampai satu minggu. Pesta membangun kuburan atau tugu tersebut biasanya disebut horja. Dalam horja ini biasanya diikuti oleh gondang (alat musik Batak) dengan menari (manortor).
                  Satu kuburan didirikan oleh satu marga dalam satu kampung. “Masing-masing marga berlomba untuk membangun tugu marga sendiri. Sehingga pada tiap kantong-kantong (bona pasogit) marga, kita dapat menjumpai berdirinya tugu marga.”[52] Selain dari menghormati roh nenek moyang, tugu dan kuburan dibangun untuk mempertahankan marga dalam satu kampung. Dengan adanya tugu, marga yang lain tidak bisa menguasai kampung tersebut sekalipun marga yang punya tugu tersebut sudah merantau semua.

Upacara Dalam Mangokkal Holi
                  Mangokkal holi dapat digolongkan dalam suatu upacara. Ketika suatu marga melaksanakan kegiatan mangokkal holi, ada langkah-langkah yang harus dilalui. Upacara ini berhubungan dengan tondi (roh) orang mati. Sebelum pelaksanaannya, didahului dengan pembangunan tugu atau kuburan tempat tulang-tulang yang mau digali.
      Juga sebelum pembangunan tugu ini dimulai, diadakan upacara khusus bagi sumangot (semacam altar di kanan/kiri bagian dalam dari rumah adat Batak-sebagai penutup tiang bagian atas). Kemudian seorang yang tertua dari antara mereka mulai berdoa kepada sumangot leluhurnya. Setelah semua anggota keluarga sepakat membangun tugu, maka mereka mulai membahas hal-hal yang akan dilakukan, yaitu siapa-siapayang akan digali, uraian bentuk atau ukuran tugu, dan anggaran biaya pembuatan tugu.[53]

                  Jadi, upacara mangokkal holi diawali dengan penyembahan  tsumangot leluhur. Dengan kata lain mengawalinya dengan kepercayaan animisme. Setelah pembangunan tugu selesai, maka diadakanlah upacara penggalian tulang pada tanggal yang sudah ditentukan terlebih dahulu.
                  Pada hari penggalian tersebut, semua pihak yang bersangkutan berkumpul dan melakukan upacara penggalian tersebut dengan diiringi gondang dan taritarian (manortor). ”selama menggali kuburan, kaum perempuan menangis dan meratap. Suasana selama penggalian menunjukkan kedukaan.”[54] Setelah selesai penggalian, tulang-belulang tersebut dibawa ke rumah pihak penyelenggara. Pada saat tulang-tulang tersebut berada di dalam rumah, diadakan tari-tarian (manortor) sebagai lambang sukacita keberhasilan penggalian dan memohon berkat. Setelah itu berangkat ke pemakaman. ”Keberangkatan ke tempat pemakaman didahului dengan acara penyembelihan seekor kerbau.”[55] Kerbau yang disembelih tersebut akan dibagikan kepada seluruh peserta yang ikut serta dalam pemakaman. Daging yang dibagikan tersebut  disebut jambar.
                  ”Di pemakaman tidak ada lagi upacara; hanya meletakkan tulang-belulang orang mati tersebut di tempat yang sudah disediakan.”[56] Jadi, pelaksanaan upacara mangokkal holi sepenuhnya mengandung kepercayaan animisme.

Pandangan Alkitab Terhadap Mangokkal Holi
                  Jika dilihat dari segi pelaksanaan , upacara mangokkal holi bertentangan dengan Alkitab. Karena dalam pelaksanaannya melibatkan kepercayaan animisme. Setelah masuknya kekristenan ke tanah Batak, kegiatan tersebut tidak lagi melibatkan kepercayaan animisme. Oleh sebab itu, timbul suatu pertanyaan apakah orang Kristen bisa melakukan kegiatan mangokkal holi?. Kelompok yang pro adat masih melakukan kegiatan ini dengan alasan menghormati orang tua, sesuai dengan tuntutan titah kelima (Keluaran 20:12). ”Berkaitan dengan menuruti titah kelimalah tujuan dari mangokkal holi, yaitu menghormati orang tua. Semua nenek moyang termasuk dalam kategori orang tua.”[57]
            Dalam hasil wawancara dengan seorang pendeta yang pro adat, kegiatan mangokkal holi bisa dilakukan sebagai tradisi yang sudah diperbaharui. Karena manusia tidak bisa lepas dari kebudayaan. Kegiatan mangokkal holi disamakan dengan kisah Yakub (Kejadian 49:29, 33) dan pesan Yusuf untuk membawa tulang-tulangnya dari Mesir (Kejadian 50:24-25). ”Lalu Yusuf menyuruh anak-anak Israel bersumpah, katanya: "Tentu Allah akan memperhatikan kamu; pada waktu itu kamu harus membawa tulang-tulangku dari sini."”[58] Dengan melihat kejadian ini, orang Batak-Kristen melakukan kegiatan mangokkal holi, dengan tujuan sebagai bentuk penghormatan kepada orang tua.
                  Dalam pelaksanaannya, dilakukan perobahan dari segi upacara, dana, pelibatan kepercayaan animisme dan semua hal yang bertentangan dengan Alkitab. Mangokkal holi dianggap memiliki nilai positif bagi kehidupan orang Batak “Ada orang yang tetap mendukung acara tersebut dengan alasan dianggap mengandung hal positif. Misalnya, sebagai sarana pemersatu keturunan dari Oppungyang mau digali tersebut....Dana yang menghabiskan ratusan juta-an atau bahkan miliard-an tersebut dapat digunakan untuk membangun sarana-prasarana penting...”[59] Dengan melakukan berbagai perubahan, orang Batak melakukan kegiatan Mangokkal holi.
                  Di sisi lain kelompok yang kontra adat Batak menolak praktek adat mangokkal holi karena hal itu dianggap hasipelebeguon (penyembahan berhala). Henry James dalam bentuk penolakannya berkata, ”Penulis akan membahas beberapa bagian Alkitab yang sering dimanipulasi oleh orang-orang Batak Kristen, untuk membenarkan upacara mangokkal holi, adalah cerita pengangkatan kerangka tulang Yusuf dari tanah Mesir ke tanah Kanaan. (Kel 13:19).”[60] Berkaitan dengan kejadian ini, selanjutnya Henry berkata:
      Disamping itu, penggalian tulang belulang orang mati bukanlah merupakan tradisi pada bangsa Israel. Penggalian itu hanya terjadi pada kasus tulang Yusuf saja. Setelah itu tidak.....Upacara mangokkal holi tidak ada kaitannya dengan janji Tuhan kepada bangsa Israel. Upacara itu berasal dari agama Batak (hasipelebeguon) dengan tujuan pemujaan leluhur. Tuhan sangat jijik melihat hal itu.... Sehingga sangatlah salah jikalau kita menggunakan peristiwa khusus itu sebagai alasan pembenaran dari upacara mangokkal holi. Ini penafsiran yang telah dipelintir oleh Iblis.[61]

                  Kegiatan mangokkal holi adalah suatu kegiatan penyembahan berhala yang dilakukan oleh orang Batak. Bagi kelompok yang kontra adat, tidak ada alasan apapun untuk bisa melakukan kegiatan mangokkal holi.
                  Rudolf Pasaribu berkata Bahwa:
      Untuk konteks masyarakat Batak, penggalian tulang-belulang memiliki motif yang sangat jauh berbeda dengan kisah yang ada di Kejadian 50:1-14 di mana Yakub dan pada ayat 25 Yusuf berpesan agar mayat mereka dibawa kembali ke Kanaan. Motif ini sangat jauh berbeda sehingga tidak mungkin nas tersebut dapat digunakan sebagai dasar alkitabiah untuk melegalisasi penggalian dan pemindahan tulang-belulang. Motivasi pemindahan dan pengusungan tulang belulang mereka adalah untuk mengingat bahwa kematian mereka ada di negeri asing, negeri kafir, dan bukan berada di negeri sendiri. Sedangkan motif dan tujuan penggalian tulang-belulang menurut suku Batak pada hakekatnya adalah penghargaan, penghormatan, kultus pada roh (tondi) orang mati, dan di sana ada pengharapan bahwa roh dari orang yang meninggal itu akan meningkat, atau semakin bermutu, menjadi sahala atau sumangot yang mampu memberi berkat (jasmani dan rohani) kepada orang hidup.[62]

                  Upacara mangokkal holi yang dilakukan oleh orang Batak adalah penyembahan berhala (hasipelebeguon). Oleh sebab itu, orang Kristen tidak bisa melakukan kegiatan tersebut sekalipun dengan melakukan perobahan. Karena bagi kelompok yang kontra adat, upacara adat Batak pada hakekatnya adalah upacara penyembahan kepada roh sembahan leluhur kita dahulu.
                  Dari kedua kelompok tersebut di atas, terdapat suatu perbedaan pendapat tentang sikap terhadap mangokkal holi. Dari kutipan nats Alkitab yang sama (Kejadian 50:25), terdapat perbedaan pendapat terhadap adat Batak mangokkal holi. Dalam nats ini, Yusuf berpesan supaya tulang-tulangnya dibawa dari Mesir ke tanah Kanaan, karena Yusuf tidak mau dikuburkan di Mesir yang memiliki kepercayaan kepada dewa. ”Kota itu lama menjadi pusat keagamaan, dianggap sebagai kota Dewa Amun (Amon)... Rakyat jellata menyembah dewa-dewa rumah tangga mereka, di kuil-kuil yang bentuknya lebih kecil dan sederhana daripada untuk dewa-dewa besar,...”[63] Yakub dan Yusuf tidak ingin tinggal bersama-sama dengan orang yang tidak percaya kepada Allah yang disembahnya.
            Di sisi lain, tanah Kanaan adalah tanah tempat kelahiran (kampung)Yusuf dan sekaligus tanah perjanjian nenek moyangnya dengan Allah. Disitulah Yusuf dan nenek moyangnya dikuburkan.
      Kemudian berpesanlah Yakub kepada mereka: "Apabila aku nanti dikumpulkan kepada kaum leluhurku, kuburkanlah aku di sisi nenek moyangku dalam gua yang di ladang Efron, orang Het itu, dalam gua yang di ladang Makhpela di sebelah timur Mamre di tanah Kanaan, ladang yang telah dibeli Abraham dari Efron, orang Het itu, untuk menjadi kuburan milik. Di situlah dikuburkan Abraham beserta Sara, isterinya; di situlah dikuburkan Ishak beserta Ribka, isterinya, dan di situlah juga kukuburkan Lea; ladang dengan gua yang ada di sana telah dibeli dari orang Het." Setelah Yakub selesai berpesan kepada anak-anaknya, ditariknyalah kakinya ke atas tempat berbaring dan meninggallah ia, maka ia dikumpulkan kepada kaum leluhurnya.[64]
                 
                  Menggali tulang nenek moyang dan mengumpulkannya adalah sebuah tradisi bagi bangsa Israel. Namun, dalam pelaksanaannya tidak sama dengan yang dilakukan oleh orang Batak. Yusuf juga berpesan untuk memindahkah tulang-tulangnya ke tempat leluhurnya dikuburkan. Dengan adanya kuburan tersebut di tanah Kanaan, menjadi bukti bahwa tanah tersebut adalah tanah perjanjian yang diberikan oleh Allah kepada leluhur dan keturunannya.
      Dengan itu, Yusuf menyatakan kepercayaannya, bahwa bangsa Israel akan pulang nanti dari Mesir ke tanah Kanaan. Biarpun ia telah tinggi pangkatnya di Mesir, ia tidak mau dikuburkan di situ; ia bukan orang Mesi, tetapi merasa dirinya lebih dekat kepada umat Allah; ia juga mau ikut bersama-sama dengan mereka kembali ke tanah yang dijanjikan Allah untuk dikuburkan di sana.[65]

                  Bangsa Israel melakukan seperti yang diinginkan oleh Yusuf. Waktu bangsa Israel keluar dari Mesir, tulang-tulang Yusuf dibawa ke tanah Kanaan dan dikuburkan bersama-sama dengan leluhurnya. Musa membawa tulang-tulang Yusuf, sebab tadinya Yusuf telah menyuruh anak-anak Israel bersumpah dengan sungguh-sungguh: "Allah tentu akan mengindahkan kamu, maka kamu harus membawa tulang-tulangku dari sini." (Keluaran 13:19).
                  Dari uraian di atas, bangsa Israel melakukan pemindahan tulang-belulang leluhurnya sebagai tradisi . Hal ini terlihat dari pengumpulan tulang Abraham dan Sarah, Ishak dan Ribka dan juga Lea (Kejadian 49:29-33).  Dengan adanya kuburan tersebut menjadi simbol bahwa tanah Kanaan adalah tanah perjanjian Allah kepada bangsa Israel. Dari hasil wawancara dengan seorang pendeta, kegiatan mangokkal holi dilaksanakan sebagai tuntutan budaya. Dari hasil kuisioner yang dilakukan oleh penulis, 60% menyatakan bahwa kegiatan mangokkal holi adalah tradisi orang Batak. Dari hasil kuisioner yang ada, lebih banyak orang Batak tidak setuju jika kegiatan mangokkal holi ditiadakan dan 70% berpendapat bahwa mangokkal holi memiliki nilai positif dan memiliki nilai negatif.
                  Dari uraian di atas, penulis memilih pemahaman bahwa Alkitab netral terhadap mangokkl holi. Jika mangokkal hili dilakukan dengan upacara seperti jaman dahulu, melibatkan kepercayaan animisme, Alkitab dengan tegas menentangnya. Sebab orang Kristen tidak bisa menggabungkan kepercayaan lain dengan ke-Kristenan .
      Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku. Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apa pun yang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi. Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, adalah Allah yang cemburu, yang membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya, kepada keturunan yang ketiga dan keempat dari orang-orang yang membenci Aku, tetapi Aku menunjukkan kasih setia kepada beribu-ribu orang, yaitu mereka yang mengasihi Aku dan yang berpegang pada perintah-perintah-Ku. (Keluaran 20:3-6).

                  Allah tidak menginginkan orang Batak-Kristen menduakan Allah. Di sisi lain, jika kegiatan mangokkal holi dilaksanakan hanya sebagai tradisi tanpa keterlibatan unsur sinkritisme Alkitab tidak mempertentangkannya. Sebagai anggota masyarakat, oorang Kristen tidak lepas dari kebudayaan setempat. Oleh sebab itu Paulus dalam surat Korintus yang pertama.
      Demikianlah bagi orang Yahudi aku menjadi seperti orang Yahudi, supaya aku memenangkan orang-orang Yahudi. Bagi orang-orang yang hidup di bawah hukum Taurat aku menjadi seperti orang yang hidup di bawah hukum Taurat, sekalipun aku sendiri tidak hidup di bawah hukum Taurat, supaya aku dapat memenangkan mereka yang hidup di bawah hukum Taurat. Bagi orang-orang yang tidak hidup di bawah hukum Taurat aku menjadi seperti orang yang tidak hidup di bawah hukum Taurat, sekalipun aku tidak hidup di luar hukum Allah, karena aku hidup di bawah hukum Kristus, supaya aku dapat memenangkan mereka yang tidak hidup di bawah hukum Taurat. Bagi orang-orang yang lemah aku menjadi seperti orang yang lemah, supaya aku dapat menyelamatkan mereka yang lemah. Bagi semua orang aku telah menjadi segala-galanya, supaya aku sedapat mungkin memenangkan beberapa orang dari antara mereka. Segala sesuatu ini aku lakukan karena Injil, supaya aku mendapat bagian dalamnya. (1 Korintus 9:20-23).

                  Paulus menjadi segala-galanya bagi semua orang supaya dapat memenangkannya. Tujuan utama dari Paulus menjadi seperti orang yang dilayaninya. Yang terutama dari bagian ini adalah untuk memenagkan orang-orang yang Paulus berada di dalamnya. Rasul Paulus tidak menjadi orang yang dilayani, tetapi menjadi seperti orang yang dilani. Yang diperlihatkan oleh Paulus adalah motivasi untuk memenangkan jiwa bagi kemuliaan Tuhan. Dengan demikian, motivasi dalam melakukan kegiatan mangokkal holilah yang harus diperhatikan oleh orang Batak-Kristen. Kegiatan mangokkal holi bisa dilakukan dengan memperbaharui seluruh kegiatan tersebut yang mengandung sinkritisme (hasipelebeguon).
            Namun Paulus mengingatkan orang percaya untuk bertindak hati-hati dengan pelaksanaan adat istiadat. ”Hati-hatilah, supaya jangan ada yang menawan kamu dengan filsafatnya yang kosong dan palsu menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia, tetapi tidak menurut Kristus (Kolose 2:8).”[66] Orang Kristen harus memiliki sikap yang selektif terhadap adat istiadat.


1http://bersamatoba.com/tobasa/ekonomi/ulos-batak-kekayaan-budaya-batak.html

2Henry James Silalahi, Penyembahan Berhala Dalam Upacara Adat Batak (Medan: Pelayanan Misi Kristus, 2007), 19.
3Mangapul Sagala, Injil Dan Adat Batak (Jakarta: Yayasan Bina Dunia, 2008), 60.
5 http://bersamatoba.com.
6http://bersamatoba.com.
7Ibid
8Mangapul Sagala, Injil Dan Adat Batak (Jakarta: Yayasan Bina Dunia, 2008), 68.
9http://bersamatoba.com.
10Mangapul Sagala, Injil Dan Adat Batak (Jakarta: Yayasan Bina Dunia, 2008), 67.
11Henry James Silalahi, Pandangan Injil Terhadap Upacara Adat Batak (Medan: Pelayanan Misi Kristus, 2007), 45.
12Henry James Silalahi, Penyembahan Berhala Dalam Upacara Adat Batak (Medan: Pelayanan Misi Kristus, 2007),47.

12http://bersamatoba.com.
13T. M. Sihombing, Jambar Hata Dongan Tu Ulaon Adat (Tt: Tulus Jaya, 1989), 278-279.
14Lothar Schreiner, Adat dan Injil (Jakarta: Gunung Mulia, 2003), 4.
15Henry James Silalahi,Pandangan Injil Terhadap Upacara Adat Batak (Medan: Pelayanan Misi Kristus, 2005), 120.

16Nalom Siahaan, Adat Dalihan Natolu (Jakarta: GRAFINA, 1982). 22.
17Henry James Silalahi, Penyembahan Berhala Dalam Upacara Adat Batak (Medan: Pelayanan Misi Kristus, 2007), 47.
18T. M. Sihombing, Jambar Hata Dongan Tu Ulaon Adat (Tt: Tulus Jaya, 1989), 280.
19http://bersamatoba.com.
20http://bersamatoba.com.
21Ibid.
22T. M. Sihombing, Jambar Hata Dongan Tu Ulaon Adat (Tt: Tulus Jaya, 1989), 280.
23Ibid
24T. M. Sihombing, Jambar Hata Dongan Tu Ulaon Adat (Tt: Tulus Jaya, 1989), 281
25http://bersamatoba.com.
26Nalom Siahaan, Adat Dalihan Natolu (Jakarta: GRAFINA, 1982). 20.
27Henry James Silalahi,Pandangan Injil Terhadap Upacara Adat Batak (Medan: Pelayanan Misi Kristus, 2000), 38-39.

28Ibid, 39.
29Pandangan Injil Terhadap Upacara Adat Batak, Posted by Manik on Oct 31, 2007 in Uncategorized

30Nalom Siahaan, Adat Dalihan Natolu (Jakarta: GRAFINA, 1982). 75.
31B. S. Sidjabat, Membangun Pribadi Unggul (Yogyakarta: ANDI, 2001), 195.
32Nalom Siahaan, Adat Dalihan Natolu (Jakarta: GRAFINA, 1982). 80.
33Nalom Siahaan, Adat Dalihan Natolu (Jakarta: GRAFINA, 1982). 81.
34Alkitab
[35]Ibid
[36]Alkitab
[37]A. A. Sitompul, Manusia Dan Budaya (Jakarta: Gunung Mulia, 2000), 38.
[38]Everett F. Harrison, The Wyclife Bible Commentary Volume 3, Editor Charles F. Pfeiffer dan Everett F. Harrison (Malang: Gandum Mas, 2008), 306.

[39]W. R. F. Browning, Kamus Alkitab, Editor Chrisostomus Sihotang  (Jakarta: gunung Mulia, 2007), 23.

[40]Donald W. Burdick, The Wyclife Bible Commentary Volume 3 (Editor Charles F. Pfeiffer dan Everett F. Harrison (Malang: Gandum Mas, 2008), 165.

[41]Donald W. Burdick, The Wyclife Bible Commentary Volume 3 (Editor Charles F. Pfeiffer dan Everett F. Harrison (Malang: Gandum Mas, 2008), 165.

[42]Ibid
[43]Hasan Sutanto, Perjanjian Baru interlinier dan Konkordansi Perjanjian Baru jilid II (Jakarta: LAI, 2004), 607.

[44]A. A. Sitompul Manusia dan Budaya (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1997). 260.
[45]Lothar Schreiner, Adat dan Injil: Perjumpaan Adat dengan Iman Kristen di Tanah Batak (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2000). 173.

[46]Suh Sung Min, Injil dan Penyembahan nenek Moyang (Yogyakarta: Media Presindo, 2001), 144.

[47]Elisabet Simanjuntak, http/.martoba.com
[48]T. M. Sihombing, Jambar Hata: Dongan tu Ulaon Adat (Siantar: CV Tulus Jaya, 1989), 241.
[49]Suh Sung Min, Injil dan Penyembahan nenek Moyang (Yogyakarta: Media Presindo, 2001), 137.
[50]Ibid.
[51]Ibid
[52]Henry James Silalahi,Pandangan Injil Terhadap Upacara Adat Batak (Medan: Pelayanan Misi Kristus, 2000), 63.

[53]H. Gultom, Penggalian tulang-Belulang Leluhur (jakarta: Gunung Mulia, 1991), 14-15.
[54]Suh Sung Min, Injil dan Penyembahan nenek Moyang (Yogyakarta: Media Presindo, 2001),151.

[55]Ramlan Sarumpaet, Penggalian Tulang Belulang Orang Mati Dalam Masyarakat Toba (Jakarta: STT Jakarta, 1991), tt
.
[56]H. Billy Situmorang, Ruhut-ruhut Ni Adat Batak (Jakarta: Gunung Mulia, 1983), 96.
[57]T. M. Sihombing, Jambar Hata: Dongan tu Ulaon Adat (Siantar: CV Tulus Jaya, 1989), 241.

[58]Alkitab.
[59]Mangapul Sagala, Injil Dan Adat Batak (Jakarta: Yayasan Bina Dunia, 2008),105.

[60]Henry James Silalahi, Pandangan Injil Terhadap Upacara Adat Batak (Medan: Kawanan Missi Kristus, 2000), 82.

[61]Ibid
[62]Rudolf Pasaribu, Penjelasan Lengkap Iman Kristen (Medan: penerbitan secara pribadi, 2001), h. 122-123.

[63]`John Taylor, Hand Book To The Bible (Bandung: Kalam Hidup, 2002), 170.
[64]Alkitab

[65]F. L. Bakker, Sejarah Kerajaan Allah 1 (Jakarta: Gunung Mulia, 2010), 236.
[66]Alkitab